Hindari atau Hadapi: Pilihan Dilematis Negara dan Aktor Humaniter Menangani Pandemi COVID-19 di Wilayah Krisis Kemanusiaan

Published by admin on

Oleh : Putri Rahma Asri,  peneliti Bidang Kemanusiaan dan Perdamaian Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan

Selama setengah tahun 2020, pandemi COVID-19 telah menjadi musuh global. Bukan hanya memakan korban jiwa, virus yang pertama kali merebak di Wuhan, Tiongkok ini memberikan dampak signifikan di banyak sektor kehidupan. Berita yang kita semua dengar secara mainstream menunjukkan bagaimana pandemi ini berdampak hebat, khususnya di industri-industri yang membutuhkan massa.

Akan tetapi, berita-berita tersebut luput menyorot krisis kemanusiaan yang terjadi di beberapa belahan dunia. Sekitar bulan April 2020, dunia akhirnya mulai menilik krisis kemanusiaan ini setelah Yaman, salah satu negara yang menderita krisis berkepanjangan sejak 2011 melaporkan kasus pertama virus corona di kota pelabuhan Ash Shihr, Hadhramaut. Kemudian, berita mulai mengangkat isu krisis kemanusiaan lainnya yang sedang berjalan selama pandemi COVID-19, seperti krisis pengungsi Rohingnya Myanmar, krisis ekonomi Venezuela, maupun krisis keamanan Republik Demokratik Kongo.

 

Pandemi di Tengah Krisis Kemanusiaan Terburuk

Disebut sebagai salah satu negara Arab termiskin di dunia, Yaman, telah hancur karena perang sipil yang dimulai sejak tahun 2011. Konflik yang terjadi akibat kegagalan transisi politik pasca pemberontakan Arab Spring, berlanjut memunculkan masalah lainnya di dalam negeri. Yang seharusnya membawa stabilitas politik dan ekonomi, Yaman pasca Arab Spring mengalami krisis kemanusiaan yang berkelanjutan, termasuk kolera dan kelaparan selama lima tahun terakhir. BBC menyebutkan bahwa Yaman adalah negara yang mengalami krisis kemanusiaan terburuk.

Sementara itu, hadirnya COVID-19 di Yaman menimbulkan kekhawatiran para tenaga kesehatan di Yaman, dikarenakan beberapa rumah sakit dan klinik di Yaman telah hancur akibat perang ataupun ditutup selama perang. WHO memberitakan, sejak konflik bersenjata meletus pada 19 Maret 2020, sistem kesehatan Yaman dalam situasi riskan. Pengeboman besar-besaran dan serangan udara terus-menerus menyebabkan kegiatan kemanusiaan terhambat. Dr Ahmed Shadoul, Representasi WHO untuk Yaman mendeskripsikan kondisi fasilitas kesehatan Yaman tidak siap untuk menghadapi pandemi ini dimana hampir 23% dari fasilitas kesehatan di Yaman tidak lagi berfungsi karena terdampak perang. Terlebih lagi, Yaman memiliki sangat sedikit tenaga kesehatan yang terlatih. WHO melansir, tidak ada dokter di 18% daerah di Yaman dan sebagian besar tenaga kesehatan belum menerima gaji selama setidaknya 2 tahun. Parahnya, diungkapkan bahwa tenaga kesehatan ataupun paramedis tidak memiliki pelatihan tentang manajemen kasus, pencegahan dan pengendalian infeksi dan penggunaan peralatan pelindung diri untuk menghadapi COVID-19.

 

Hampir Terjadi di Setiap Benua

Serupa dengan Yaman, Myanmar, salah satu negara anggota ASEAN ini juga mengalami krisis kemanusiaan yang pelik sejak empat tahun belakangan. Nasib Rohingnya yang terombang-ambing di lautan maupun yang mengungsi di Bangladesh kurang mendapatkan perhatian dari organisasi interpemeritah kawasan Asia Tenggara. Sejak pandemi menghantam wilayah Asia Tenggara, ASEAN seperti menghindari pembahasan krisis Rohingnya. Human Rights Watch bahkan menyatakan bahwa para pemimpin Asia Tenggara seharusnya segera mengadopsi rencana konkret untuk mengatasi krisis ini. Pada bulan Mei 2020, kamp pengungsian Cox’s Bazar mengonfirmasi kasus positif pertama COVID-19 dan sekitar 1.900 pengungsi lain diisolasi untuk menjalani tes.

Di kawasan Afrika, krisis kemanusiaan Republik Demokratik Kongo tidak ada hentinya. Dengan sejarah krisis sejak 1960-an, pasang surut konflik Kongo berlanjut hingga sekarang. Di tahun 2020, kekerasan memuncak kembali di Kongo Timur di mana berdasarkan data dari PBB, lebih dari 1,2 juta orang telah terlantar. Krisis Kongo diperparah ketika Kongo yang sudah percaya diri akan mampu mengakhiri wabah Ebola, pada Maret 2020 kasus COVID-19 pertama dikonfirmasi. Pada tanggal 1 Juni, Departemen Kesehatan Republik Demokratik Kongo secara resmi menyatakan kemunculan kembali wabah Ebola di negara tersebut. Bersamaan dengan itu, Kongo mendata lebih dari 6000 kematian yang disebabkan oleh campak yang berarti saat ini Kongo sedang memerangi penyebaran tiga wabah – Ebola, Campak, dan COVID-19 secara bersamaan.

Sedangkan dari dataran Amerika Latin, Venezuela yang kini mengalami krisis ekonomi yang telah memicu eksodus migran dan pengungsi. UNFPA menggambarkan pandemi COVID-19 memperburuk situasi dalam negeri, khususnya bagi perempuan dan anak di Venezuela karena kurangnya fasilitas kesehatan dan pasokan medis yang memadai. Dengan lebih dari 188.000 kasus COVID-19 yang dikonfirmasi sejauh ini, ekonomi Venezuela semakin terpuruk sehingga warga dan pengungsi pun semakin rentan.

 

Negara: Siapa yang Harus Diprioritaskan?

Pandemi COVID-19 kemudian menghadirkan pilihan dilematis bagi negara dan aktor humaniter dalam menangani virus yang telah mematikan lebih dari 600.000 nyawa. Ketika fasilitas kesehatan di wilayah-wilayah krisis tersebut sudah kurang layak karena terdampak sepanjang krisis yang mereka hadapi, bagaimana mungkin rumah sakit atau klinik ini mampu menangani pasien positif COVID-19? Ditambah lagi, dengan infrastruktur kesehatan dan sistem manajemen negara yang sedang kacau-balau serta tenaga medis yang terbatas, apakah negara memperhatikan keselamatan para pengungsi yang menetap di kamp, warga yang tinggal di dekat target militer sama seperti warga yang berada di daerah non-konflik? Mungkinkah negara dapat menyelamatkan semua orang? Jika tidak, siapa yang harus diprioritaskan?

Bagi negara, tindakan untuk menjawab tantangan tersebut adalah menggunakan pendekatan  kerangka etika utilitarian. Kecenderungan negara memilih tindakan tersebut karena ingin menghindari risiko kewalahan pelayanan kesehatan yang berlandaskan ide utilitarian, what brings the greatest good to the greatest number of people milik Jeremy Bentham dengan memilih maximizing utility to produce the largest amount of outcome. Dalam konteks ini, utilitarian dapat diterjemahkan, memaksimalkan alokasi sumber daya untuk menyelamatkan lebih banyak untuk mendapatkan kebaikan lebih besar. Pada saat sumber daya terbatas dan permintaan kebutuhan sangat tinggi, langkah etis dan rasional yang banyak dipilih negara adalah memilih untuk mengirim tenaga kesehatannya dan peralatan medisnya ke tempat dimana mereka dapat menyelamatkan lebih banyak nyawa dalam waktu singkat.

Mengirim tenaga kesehatan dan peralatan medis ke wilayah yang sedang terjadi krisis adalah bukan sebuah pilihan karena secara rasional biaya yang dikeluarkan untuk menyediakan layanan kesehatan di wilayah krisis lebih mahal, risiko keselamatan tenaga kesehatan lebih tinggi, dan dinilai tidak efisien. Negara akan memprioritaskan sumber daya tersebut ke wilayah yang mudah dijangkau dan padat penduduk seperti memilih ibu kota negara daripada kamp pengungsi atau zona konflik. Pilihan rasional dan etis ini merupakan sudut pandang negara dan sektor kesehatan masyarakat yang biasa dipilih dengan tujuan memaksimalkan hasil saat sumber daya langka. Namun, seharusnya itu bukan pilihan tunggal yang harus diambil.

Aktor Humaniter: Cukup Teguh Pada Prinsip Kemanusiaan?

Berbeda dengan aktor humaniter dalam pengambilan keputusan, menyelamatkan lebih banyak nyawa tidak bisa menjadi satu-satunya tindakan yang valid. Pendekatan aktor humaniter adalah leave no one behind – tidak mengorbankan yang paling rentan untuk kebaikan yang lebih besar, bahkan jika itu berarti menyelamatkan lebih sedikit nyawa. Respons aktor humaniter cenderung memprioritaskan yang paling rentan di tempat-tempat berbahaya dan sulit dijangkau, sementara negara cenderung memprioritaskan massa.

Dengan kasus krisis kemanusiaan di Yaman, di kamp pengungsi Rohingya di Bangladesh, pilihan dilematis ini hadir untuk menentukan kebijakan selama pandemi COVID-19. Namun, ternyata banyak aktor humaniter, seperti staf kemanusiaan internasional pulang ke negara masing-masing. Dijelaskan Michiel Hofman, Senior Specialis Kemanusiaan Médecins Sans Frontières, alas an mereka meninggalkan wilayah krisis adalah karena mereka tidak dapat bekerja selama lockdown, mereka diminta untuk menangani kasus COVID-19 di negara mereka sendiri, atau mereka khawatir tertular karena rendahnya fasilitas kesehatan disana.

Sementara itu, langkanya Alat Pelindung Diri (APD) mendorong negara-negara yang mampu swaproduksi memprioritaskan domestik mereka sendiri dengan memberlakukan pembatasan ekspor. Berdasarkan laporan The New Humanitarian, Amerika Serikat memberlakukan pembatasan ekspor, melarang LSM yang mereka danai menggunakan uang mereka untuk membeli masker dan sarung tangan medis.

Leave No One Behind

Pendekatan yang diambil negara ini mengesankan bahwa negara menghindari dibanding menghadapi tantangan tersebut. Seharusnya, kerangka etika utilitarian bukanlah pilihan satu-satunya bagi negara maupun menggoyahkan prinsip aktor humaniter yang sudah memengang nilai-nilai kemanusiaan. Walaupun terdengar naif, tetapi kenyataannya memang sikap ini seharusnya hanya sebuah alternatif karena WHO melalui Rencana Kesiapan dan Respon Strategis COVID-19 menekankan prinsip leave no one behind dimana pedoman tersebut ditunjukkan untuk negara-negara yang paling berisiko dan dengan sistem kesehatan yang paling lemah. Upaya ini didukung oleh COVID-19 Solidarity Response Fund yang bertujuan untuk merangkul mereka di wilayah krisis mengingat bahwa dalam situasi seperti ini, the most vulnerable can be the most left out-of-sight and out-of-mind. Pada akhirnya, kita semua seharusnya menimbang kembali pilihan ini –padahal para pengungsi dan mereka yang terdampak konflik adalah yang paling tersisih dan terpinggirkan selama ini.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4