Konflik Agama dan Krisis Intoleransi: Tantangan atau Mimpi Buruk Keberagaman Indonesia?

Published by admin on

Oleh : Bob Marta, peneliti Bidang Kemanusiaan dan Perdamaian Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan

Agama merupakan salah satu komponen penting bagi masyarakat Indonesia. Slogan “Ketuhanan yang Maha Esa” menjadi salah satu bagian dalam Pancasila. Agama dan masyarakat Indonesia bagaikan dua sisi “mata uang” yang tidak dapat dipisahkan. Indonesia menjadi negara yang paling religius di Asia Pasifik dengan lebih dari 83% penduduk Indonesia meyakini bahwa agama merupakan suatu hal yang penting. Peringkat Indonesia berada di atas negara-negara Eropa dengan rata-rata 30% penduduk yang mengganggap agama merupakan komponen yang penting. Konotasi tentang agama sebagai konteks penting dalam kehidupan memang erat dengan masyarakat ketimuran.

Steriotisasi agama tanpa diiringi dengan kesadaran atas keberagaman dapat melahirkan segmen fundamentalis yang berakar kuat di tengah masyarakat. Fundamentalis yang dikawinkan dengan pendidikan dan kesadaran terhadap keberagaman akan menghasilakan potensi kolaborasi masyarakat yang toleran. Sebaliknya segmen masyarakat yang fundamentalis tanpa memahami esensi agama dalam menjunjung tinggi keberagaman akan menjadi bom waktu di tengah masyarakat. Keberagaman Indonesia bagaikan pedang bermata dua apabila dirawat dengan seksama akan menjadi potensi persatuan demi kamajuan bangsa. Sebaliknya dapat menjadi kemungkinan terciptanya konflik agama yang mengancam perdamaian Indonesia.

Terkadang bagi sebagian orang anggapan agama adalah suatu hal yang penting, namun belum diringi dengan semangat menghargai agama atau kepercayaan lainnya. Padahal hidup di dunia bukan hanya masalah hubungan antara manusia dengan tuhan tetapi, juga sesama manusia. Konflik keagamaan dapat didefinsikan sebagai suatu perseteruan maupun pertikaian berkaitan dengan aksi damai maupun kekerasan fisik yang berkaitan dengan nilai, klaim, dan identitas yang melibatkan isu, slogan maupun ungkapan keagamaan. Mantan Presiden Indonesia serta ulama terkemuka K.H Abdurahman Wahid pernah mengemukakan bahwa awal muasal konflik agama yang terjadi di Indonesia maupun di dunia Internasional biasanya muncul akibat implikasi pendangkalan agama yang bersumber dari para pemeluknya.

Selain itu, konteks formalisasi ajaran salah satu agama yang secara khusus diafiliasi menjadi hukum positif di suatu negara akan memicu konflik yang berakar dari intoleransi serta bermuara kepada kebijakan yang tumpang-tindih bagi agama lainnya. Aktualisasi hukum salah satu agama menjadi “dominasi” hukum positif di suatu negara tidak akan menguntungkan apabila diterapkan di negara dengan keberagaman agama yang kompleks. Selain itu, pengaruh paham agama yang bersifat trans-nasional yang masuk ke Indonesia sangat mempengaruhi munculnya konflik keagamaan. Paham agama yang bersifat transnasional tanpa melewati aktualisasi nilai masyarakat setempat akan berpotensi menggerus rasa nasionalisme dan meningkatkan eksistensi intoleransi.

Indonesia sebagai negara yang memiliki keberagaman agama dan kepercayaan leluhur pernah mengalamai konflik agama sepanjang sejarah bangsa ini berdiri. Kota Poso menjadi salah satu saksi bisu konflik agama yang menyisakan luka bagi Indonesia. Konflik Poso berlangsung dari Desember 1998 kemudian berlanjut dua tahun kemudian serta puncaknya berlangsung dari Mei hingga Juni 2000. Konflik agama tidak hanya disebabkan oleh sesuatu yang bersifat “mutual-sektoral” atau berdasarkan benturan ajaran yang bebeda. Adapun selain alasan benturan keyakinan dan ajaran terdapat upaya penunggangan kepentingan politik yang menjadi salah satu penyebab konflik keagamaan.

Hal senada yang menjadi penyebab Konflik Poso pada tahun 1998. Pendapat seorang ulama Poso bernama Yahya Al-Amri menyatakan bahwa agama hanya dipakai sebagai alat kepentingan politik, “Akar dari persoalan Poso adalah perebutan kekuasaan antar elit politik lokal untuk memegang pucuk pimpinan daerah”. Kepentingan politik yang mengorban puluhan jiwa di Poso akibat pembantaian dan konflik agama antara Muslim dan Kristen menjadi salah satu pelajaran penting bagi Indonesia.

Konflik agama yang bersifat horizontal-sentrisme dapat berujung terhadap krisis kemanusian apabila terjadi dalam skala besar. Pembunuhan, pembantaian, perampasan dan jenis persekusi lainnya terhadap umat agama tertentu akan menciderai kemanusiaan apabila dibiarkan dalam waktu yang berlarut-larut. Sementara itu, kurun waktu 2017-2019 terdapat 27 kasus konflik keagamaan yang terkait terorisme berjumlah satu kasus, konflik isu komunal (antaragama) sebanyak 14 kasus, dan 12 kasus konflik terkait isu sektarian (interagama). Konflik agama komunal merupakan konflik yang “paling eksis” di tengah masyarakat.

Konflik agama komunal didominasi oleh penolakan pembangunan tempat ibadah seperti penolakan pembangunan Gereja Jemaat Advent Hari Ketujuh di Makasar kemudian penolakan warga yang berujung protes terhadap Gereja Damai milik umat Katolik di Kelurahan Duri Selatan, Kecamatan Tambora, Jakarta Barat serta penolakan terhadap pembangunan rumah ibadah umat agama lainnya. Adapun contoh konflik agama yang berjenis sektarian berkaitan dengan penolakan terhadap komunitas agama tertentu seperti penolakan terhadap Komunitas Ahmadyah di Kabupaten Bogor.

Jenis lain dari konflik sektarian ini adalah dualisme kepemimpinan di Gereja Protestan di Indonesia bagian barat (GPIB) Anugerah, Kabupaten Bekasi. Terakhir, konflik pendirian masjid komunitas Lembaga Dakwah Islam (LDII) di Kecamatan Tajur, Kabupaten Bogor. Adapun konflik keagamaan berjenis terorisme menjadi segmen yang paling berbahaya dengan tingkat ancaman tertinggi serta dapat mengakibatkan kebencian yang turun-temurun terhadap umat agama tertentu. Konflik keagamaan dapat mengancam stabilitas Indonesia apalagi Indonesia merupakan salah satu negara dengan tingkat keberagaman tertinggi di dunia.

Intolerasni antar umat beragama di Indonesia bagaikan mimpi buruk yang tidak berkesudahan. Adapun pada Januari 2019 terjadi perusakan makam di Taman Pemakaman Umum (TPU) Giriloyo, Magelang. Perusakan makam tersebut berupa pencopotan salib yang kemudian dihancurkan hingga pencopotan ubin makam. Total 21 makam yang dirusak 18 diantaranya adalah makam umat Kristiani dan 3 makam dari umat Islam. Aksi perusakan makam ini tidak hanya terjadi di TPU Giriloyo semata, perusakan juga terjadi di TPU Kiringan dan TPU Malangan. Tetapi, problematika ini tidak ditetapkan oleh Polres Kota Malang sebagai sentimen agama karena tidak ditujukan bagi agama tertentu.

Sementara itu, dominasi perusakan makam dari kaum umat minoritas perlu diperhatikan. Walaupun tidak hanya dialami oleh umat minoritas saja, namun jumlah yang timpang tersebut perlu dijadikan tanda tanya besar. Selain perusakan makam juga terdapat fenomena penolakan yang berujung terhadap pengusiran warga umat minoritas yang terjadi di Dusun Klaret, Bantul, Yogyakarta pada April 2019. Slamet Juniarto adalah korban dari kebijakan intoleran yang mengamanatkan bahwa warga non-muslim tidak boleh untuk menetap di desa tersebut. Kebijakan ini sebenaranya sudah berlangsung sejak tahun 2015. Indikasi ketidakpedulian oleh pemerintah mencuat, sebab aturan tersebut sudah berlangsung 4 tahun.

Upaya untuk tidak secara langsung melabeli dan mengeneralisir agama tertentu sebagai dalang intoleransi di Indonesia perlu ditekankan. Tujuannya agar tidak menyimpan dendam dan steryotype yang tidak berkesudahan. Direktur Institut Dialog Antar Iman, Elga Sarapung menegaskan bahwa fundamentalisme sempit seperti radikalisme, ekstrimisme hingga toleransi tidak hanya terjadi pada umat muslim saja, semua agama memiliki permasalahan yang sama. Hanya saja di Indonesia yang mencolok adalah agama islam. Kemencolokan tersebut bukan semerta-merta menjadi dasar untuk upaya mengeneralisasi umat agama tertentu. Konflik agama akan berimplikasi terhadap keamanan negara sebagaimana yang terjadi di beberapa negara di dunia.

Salah satu contoh konflik keagamaan yang berimplikasi terhadap keamanan suatu negara terjadi di Nigeria. Konflik keagamaan terjadi di Negeria semenjak kembalinya kekuasaan demokrasi di negara tersebut pada tahun 1999. Nigeria dengan jumlah penduduk 150 juta jiwa dan didominasi oleh agama Kristen dan Islam mengalami konflik keagamaan tidak hanya antara dua kelompok besar agama di negara itu. Akan tetapi, melibatkan kelompok kepercayaan lainnya. Awal mula konflik tersebut terjadi di bagian utara Nigeria tepatnya di Sagamu, Negara Bagian Ogun yang melibatkan kelompok penyembah tradisional Yoruba dengan Hausa akibat pembunuhan wanita Hausa yang melanggar tradisi kepercayaan.

Selain itu, Nigeria juga memiliki permasalahan terorisme salah satunya kelompok Boko Haram yang melakukan penambakan secara brutal terhadap umat Kristen di Mubi, Negara Bagian Abarawa pada Januari 2012. Sementara itu, pada tahun 2018 terdapat protes dari umat Muslim akibat aturan kontroversi tentang palarangan penggunaan Hijab di sekolah. Tuntutan itu dilayangkan pada saat Audiensi Publik di Komite Nasional. Akibat dari konflik keagamaan jangka Panjang tersebut mengakibatkan situasi yang tidak kondusif serta berdampak terhadap stabilitas ekonomi yang mengakibatkan krisis kemanusiaan. Solusi untuk masing-masing jenis konflik keagamaan-pun beragam.

Solusi berkesinambungan menjadi upaya yang dibutuhkan untuk menyudahi drama konflik keagamaan yang tak kunjung berakhir. Adapun terdapat empat solusi yangd dapat diterapkan. Pertama, penguatan edukasi kebaragaman di institusi Pendidikan dan tokoh masyarakat. Edukasi keberagaman di institusi Pendidikan berupaya untuk mencegah paham intoleransi dan ekstrimisme di kalangan kaum muda agar tidak menjadi bibit konflik agama masa depan. Sementara itu, edukasi tokoh masyarakat berperan untuk mencegah paham intoleransi bagi masyarakat di lingkungan yang minim akses terhadap institusi Pendidikan formal.

Kedua, kejelasan aturan dan keseriusan pemerintah dalam menegakan persatuan sebelum terciptanya kesatuan. Kejelasan dan keserisusan ini tidak hanya berupa produk hukum semata. Tetapi, turut serta memastikan dan mengawal penerapan aturan tersebut hingga ke unsur terbawah (desa, kelurahan, RT, dan RW). Hal ini demi menciptakan keselarasan dan kesamaan prinsip antar pemangku kebijakan. Selain itu, upaya pencegahan oleh aparat hukum perlu ditingkatkan terutama terhadap kegiatan terorisme di tengah masyaakat.

Ketiga, pemantapan riset dan dialog antar umat beragama. Pendayagunaan unsur scientific dalam memecahkan kasus konflik agama perlu menjadi perhatian. Bukan hanya sekadar dialog panjang, namun juga pengkajian secara ilmiah berkaitan dengan penyebab dan pola konflik agama agar dapat ditarik benang merah. Hal ini dilakukan sebagai tindakan preventif agar konflik tersebut dapat lebih mudah diprediksi melalui pengkajian penyebab dan pola konflik terdahulu.

Terakhir, penguatan sosialisasi umat beragama. Penguatan sosialisasi ini tidak hanya terbatas untuk kegiatan seperti dialog dan audiensi Forum Kerukunan Umat Bergama (FKUB) saja. Tetapi, merambah hingga akar rumput agar lebih inklusif. Hal ini dapat diawali dengan kegiatan kemasyarakat yang melibatkan semua unsur umat beragama. Sosialisasi akar rumput ini diharapkan dapat mereduksi paham intoleransi melalui upaya saling mengenal lebih jauh antar umat beragama di Indonesia. Sosialisasi dapat dilawali dengan kegiatan bersama antar umat beragama di lingkungan terkecil terlebih dahulu. Harapan terbesar jelas membebaskan atau setidaknya meminilisir gesekan antar umat beragama di Indonesia agar tidak terciptanya mimpi buruk bagi persatuan bangsa.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4