Penguatan Green Politic dalam Menjaga Bumi dari Politisasi Lingkungan

Published by admin on

Oleh: Bilal Sukarno, peneliti bidang Politik dan Pemerintahan Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan

Di tahun 2020 ini isu Politisasi Lingkungan dan kebakaran hutan (Karhutla) memang kalah seksi ketimbang Covid-19 yang ganas menyerang separuh Bumi. Namun, itu semua tak lantas membuat kita lupa bahwa ada sesuatu yang tak kalah penting untuk disimak dan tak boleh luput dari perhatian. Memasuki puncak musim kemarau ancaman kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Indonesia jadi pekerjaan rumah tambahan di tengah pandemi Corona (COVID-19). Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) melaporkan luas kebakaran hutan dan lahan (karhutla) sepanjang 1 Januari hingga 31 Maret 2020 mencapai 8.254 hektare.

“Bumi kau sekarang tak seindah dulu, keindahan mu perlahan hilang karena ulah manusia, dan Ayo kawan jaga bumi ini agar hidup kita indah, Ayo Pelihara Bumi ini agar indah seperti dulu”. Lantunan lagu Jaga Bumi yang disenandungkan oleh Ghea dan Ghia bagaikan teguran tentang bagaimana manusia adalah perusak bumi itu sendiri. Narasi kedua tentang jaga bumi pun terdengar seperti kata-kata kosong si pembohong, jelasnya urusan ekonomi, industri dan politik nyata begitu sexy ketimbang Masalah hutan telanjang yang batuk. Itu semua senafas dengan artikel yang berjudul “Why sustainable development plans have failed?” yang diterbitkan pada 3 April 2017 oleh Business Daily. Tinjauan itu menemukan tiga faktor mengapa pembangunan yang lestari gagal diwujudkan yaitu faktor ekonomi, politik, dan komunikasi.

Kita sangat sadar di abad ini kegiatan ekonomi yang merusak Bumi dan lingkungan justru banyak mendapatkan penghargaan secara finansial artinya, kita tahu sebuah produk tak ramah lingkungan tetapi tetap laris dipasaran bahkan mendapatkan penghargaan di sana-sini , hutan pun ditebang dan dikonversi karena memberikan nilai tambah besar dibanding jika hanya barisan-barisan pohon semata.

Tulisan di atas mengingatkan Penulis pada Kebakaran hutan yang kerap terjadi secara massif dan berulang di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. Menimbulkan sebuah teka-teki dan pertanyaan, apakah hutan yang terbakar merupakan target pelestarian atau pada akhirnya hanya menjadi objek eksploitasi untuk kepentingan ekonomi politik?

KARHUTLA DAN KEPENTINGAN ELITE

Cara membakar sebagai upaya land clearing banyak dilakukan oleh korporasi besar. Narasi ini bukan tuduhan tetapi melanjutkan nada yang disampaikan Presiden Jokowi pada kunjungannya ke lokasi kebakaran hutan dan lahan (karhutla) di Riau pada September 2019 lalu. Beliau menduga adanya upaya terorganisasi dalam peristiwa tersebut. Hal itu diungkapkannya karena besarnya luas areal yang terbakar.

Pada September 2019 lalu Direktur Jenderal Penegakan Hukum Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Rasio Ridho Sani, mengatakan sudah menyegel 52 perusahaan yang diduga terlibat dalam kasus pembakaran hutan dan lahan (karhutla). Dari 52 perusahaan yang telah disegel tersebut, lima perusahaan diantaranya telah ditetapkan sebagai tersangka pelaku Karhutla. KLHK menjanjikan sanksi tegas dan pasal berlapis bagi para pelaku Karhutla. Pasal perampasan keuntungan rencananya akan diterapkan. Pasal ini utamanya akan dikenakan bagi para korporasi yang berulang kali melakukan pembakaran hutan dan lahan. Menurut Rasio, data forensik dapat diketahui perusahaan mana yang berulang kali melakukan pembakaran hutan dan lahan.

Dengan egoismenya mereka tak mengindahkan perspektif dan kesadaran ekologis dan dampaknya tak terkendali. Asap dari karhutla menyasar ke pemukiman dan berakibat fatal bagi kesehatan masyarakat terutama anak-anak kecil. Mereka rentan terserang Infeksi Saluran Pernapasan (ISPA), asma, paru-paru, jantung, dan iritasi mata. Penyakit itu pun sudah terlaporkan menelan korban jiwa. Kerugian lainnya adalah kerusakan ekosistem hutan. Indonesia yang kaya dengan keanekaragaman hayati dan dijuluki “paru-paru dunia” terancam gagal mempertahankan daya dukung alam untuk kualitas kehidupan.

 

PENGUATAN GREEN POLITIC DAN RESTORASI EKOLOGIS

            Kegagalan politik muncul akibat pemerintah tidak bisa tegas atau tidak menjalankan kebijakan yang efektif. Dugaan motif kepentingan ekonomi politik mengental, karena banyak pelaku bisnis yang bekerja di wilayah kehutanan memiliki hubungan yang kuat dengan para politisi. Mahalnya ongkos politik memberi kesempatan untuk pengusaha menjadi sponsor bagi para politisi. Memang benar, Pemerintah pada dasarnya telah menunjukkan upaya tegas dengan menindak beberapa korporasi yang terbukti melakukan land clearing dengan cara pembakaran. Namun, upaya tersebut sering dianggap setengah hati karena pada kenyataannya lebih banyak yang lolos dari jerat hukum. Hubungan ini patut untuk diduga menjadi ‘gocekan’ dalam upaya penanggulangan karhutla. Peristiwa yang berlarut-larut dan berulang ini disadari akan memberi efek pada pembusukan politik.

Ketika alam dan lingkungan sudah sedemikian sakit dan batuk, menurut penulis gerakan yang perlu digagas dan digalakkan adalah gagasan restorasi ekologis. Restorasi ekologis merupakan aksi nyata yang diharapkan mampu menjadi pijakan filosofis sekaligus menjdi visi aksiologis dalam menghapi krisis lingkungan. Restorasi ekologis dimulai dengan membangun interaksi dengan alam dan lingkungan. Hanya dengan berinteraksi dengan alam, manusia bisa sampai pada satu kesadaran bahwa ia adalah bagian dari alam. Menarik kembali marwah serta fungsi-fungsi ekologis alam yang selama ini dieksploitasi secara destruktif demi kepentingan ekonomi politik. Tidak Jelasnya hutan-hutan yang gundul harus ditanami kembali, sungai yang tercemar harus dibersihkan kembali, pantai dan gunung yang penuh sampah harus disterilkan kembali. Puncak dari pencapaian restorasi ekologis ini adalah ketika manusia sadar gaya hidup ramah lingkungan dalam kehidupan kesehariannya.

Gerakan restorasi ekologis tentu akan efektif jika dilakukan secara masif. Jika hanya dilakukan secara sporadis dan parsial, maka efeknya tidak akan terlalu signifikan. Maka, dalam konteks ini, diperlukan sebuah kebijakan politis yang mampu mendorong bahkan “memaksa” publik untuk mengadaptasi gaya hidup ramah lingkungan. Inilah pentingnya gagasan green politic alias politik hijau. Gerakan politik hijau yang berupaya menekan pemerintah agar mengeluarkan kebijakan yang ramah lingkungan dan menjamin kelestarian alam serta perlahan coba memisahkan kepentingan elite ekonomi atas pengaruhnya terhadap kebijakan Politik.

Harapan penulis ke-depan diharapkan politik ekologis menjadi muatan politik istimewa di kalangan partai politik di Indonesia, yang tidak sekedar isu politik ekologis untuk meraih simpatik di saat pemilu, tetapi menjadi way of life partai politik untuk mengawal pembangunan nasional.

 

Tulisan ini telah dimuat di :

https://www.depokpos.com/2020/08/penguatan-green-politic-dalam-menjaga-bumi-dari-politisasi-lingkungan/

 


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4