Implikasi Konflik di Laut Cina Selatan Terhadap Kawasan Indo-Pasifik

Published by admin on

Dinamika konflik di Laut Cina Selatan (LCS) mulai memasuki babak baru. Sejumlah ahli dan pengamat turut menyoroti langkah Cina yang dinilai cukup kontroversial dalam menolak hasil putusan. Banyaknya ramalan dan dugaan akan kondisi dimasa depan mengenai situasi dunia yang akan timbul akibat ketegangan antara China dan Amerika Serikat mengenai Laut Cina Selatan.

Atas dasar hal tersebut, Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), menyelenggarakan Webinar Series #8 berjudul Implikasi Konflik Laut Cina Selatan Terhadap Kawasan Indo-Pasifik pada Selasa (11/08). Webinar ini menghadirkan Prof. Dr. Tulus Warsito, M.Si, Guru Besar Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta (UMY); Beni Sukadis, M.Sos selaku Peneliti Senior Lembaga Studi Pertahanan dan Studi Strategis Indonesia (LESPERSSI); serta Dion Maulana Prasetya, M. Hub.Inter yang merupakan Dosen HI di Universitas Muhammadiyah Malang (UMM).

Direktur Eksekutif PSKP, Efriza, menyoroti pentingnya Laut Cina Selatan dapat dilihat dari dua faktor utama yaitu potensi SDA dan letak geografisnya yang strategis. Oleh sebab itu, kekuasaan dan perang klaim atas LCS menjadi daya tarik utama negara-negara yang berada disekitarnya termasuk Indonesia sehingga tensi pun meningkat. “Indonesia harus siaga terhadap klaim agresif Cina di Natuna atas Nine Dash Line”, tutur Efriza.

Menanggapi Efriza, Prof. Tulus menyampaikan pentingnya posisi Indonesia dalam kerjasama multilateral bersama ASEAN. Ia menilai Indonesia memiliki kekuatan strategis melihat kedekatannya dengan kedua pihak yang sedang bersengketa yaitu AS dan Cina. “Indonesia tidak mungkin menolak Belt-Road Initiatives (BRI) dengan Cina atau Free and Open Indo Pacific (FOIP) dengan AS, namun, tidak bisa juga menerima begitu saja” jelas Prof. Tulus.

Profesor Tulus menjelaskan bahwa menurut Cina UNCLOS itu hukum rimba. Hukum rimba diartikan bahwa ketika kesepakatan yang ada tidak harus diakui terus menerus dan hanya dilakukan oleh negara yang memiliki power. Profesor Tulus juga menyebutkan bahwa dalam hal penerapan UNCLOS, Cina dan Amerika Serikat munafik. “China dan Amerika Serikat cukup munafik dalam UNCLOS karena China tidak seharusnya klaim wilayah Laut China Selatan dan Amerika Serikat adalah pihak yang tidak meratifikasi UNCLOS sehingga tidak sepatutnya ikut dalam sengketa Laut China Selatan sedangkan secara hukum tidak mempunyai alasan”, jelas Profesor Tulus.

Senada dengan Profesor Tulus, Beni Sukadis menekankan pentingnya peran Indonesia dan ASEAN terutama dalam mendorong upaya negosiasi yang bersifat preventif baik secara bilateral maupun multilateral. “ASEAN itu bagaikan security umbrella dan salah satu channel untuk menyatukan negara-negara (bisa untuk menyatukan negara besar pula),” jelas Beni

Akan tetapi, Peneliti Senior dari LESPERSSI ini khawatir akan kekosongan arsitektur pertahanan seperti NATO di kawasan Indo-Pasifik. Ia menjelaskan bahwa kekosongan itu menyebabkan kawasan rentan konflik sehingga kekuatan hegemon akan bersaing dalam geopolitik atau kepentingan nasional sehingga mengubah tatanan dalam sistem internasional. “Dalam hal ini, Cina telah menegaskan tujuannya sebagai regional power di Asia-Pasifik dan terbukti dari kekuatan militernya yang hampir mengejar kapabilitas AS” tuturnya.

Sementara itu, Dion Prasetya menyoroti perkembangan Cina secara ekonomi dan militer. Menurut Dion, sulit menilai intensi murni Cina sebagai negara yang menyukai status quo atau revisionist. Hal ini didasari oleh kecepatan pertumbuhan ekonomi Cina yang sudah ‘menyalip’ AS dalam hal PPP serta keterbatasan informasi tentang kapabilitas militer dalam realitanya. Lebih lanjut, Dion memaparkan, “menurut saya China adalah semi-revisionist power yang ingin merubah tatanan hukum internasional di kawasan yang berdasarkan dengan kesepakatan bersama ketimbang adanya pemberlakuan hukum internasional secara konstan”, tutur Dion.

Hal lainnya yang disoroti Dion adalah kemungkinan konfrontasi dalam bentuk perang terbuka di LCS. “Tidak mudah mengambil keputusan perang dalam politik internasional. Hal ini disebabkan karena berbagai variable dan tingkat interdependensi satu sama lain terutama dalam sektor ekonomi. Namun, yang perlu diperhatikan adalah perang bisa saja terjadi karena unexpected incident”, jelas Dosen HI UMM ini. Dia  menambahkan, “Situasi tidak diharapkan seperti pandemi Covid-19 ini juga berimplikasi pada buruknya manajemen konflik di LCS akibat misinterpretasi dan mispresepsi”.

Senada dengan Dion, Beni menambahkan bahwa Indonesia dan ASEAN memiliki posisi yang efektif untuk menghindari perang terbuka. “Diplomasi dan negosiasi merupakan hal utama disamping menurunkan sedikit ego untuk mengindari perang,” jelas Beni. Sementara itu, Prof. Tulus menyampaikan bahwa tantangan untuk mencapai konsensus dari hasil diplomasi dan negosisasi ini adalah integritas negara ASEAN itu sendiri untuk menyelesaikan masalah. “Kelemahan ASEAN karena proses pengambilan keputusannya tidak melalui voting sehingga konsensus sulit diambil”, papar Guru Besar Politik Internasional Universitas Muhammadiyah Yogyakarta ini.

 

Rilis ini telah dimuat di :

  1. https://aksesjambi.com/akses/11/08/2020/implikasi-konflik-di-laut-cina-selatan-terhadap-kawasan-indo-pasifik/
  2. https://imcnews.id/implikasi-konflik-di-laut-cina-selatan-terhadap-kawasan-indo-pasifik
  3. https://suaratangsel.com/implikasi-konflik-di-laut-cina-selatan-terhadap-kawasan-indo-pasifik/
  4. https://panjinasional.net/2020/08/13/konflik-laut-cina-selatan-terhadap-kawasan-indo-pasifik-pusat-studi-kemanusiaan-dan-pembangunan/
  5. https://inakoran.com/implikasi-konflik-di-laut-cina-selatan-terhadap-kawasan-indo-pasifik/p25222

0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4