Kekerasan Perempuan Meningkat Selama Pandemi, Hanya 10% yang Berani Melapor

Published by admin on

Pandemi Covid-19, tak dipungkiri lagi memiliki dampak terhadap berbagai hal dalam kehidupan, termasuk di dalamnya peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, ekonomi kepada seluruh negara di dunia. Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, permintaan akan safe house untuk korban kekerasan meningkat secara drastis. Meningkatnya tingkat stress pada masyarakat dinilai berbanding lurus dengan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak.  Berangkat dari fakta empirik ini, Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), menyelenggarakan Diskusi Webinar Series ke 10 dengan tema Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak selama Masa Pandemi. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya, antara lain; Kepala DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah, Retno Sudewi  dan Soraya Ramli, Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan. Sementara itu dari perspektif akademisi diwakili oleh Evelyn Suleeman,  Akademisi Sosiologi Keluarga Universitas Indonesia serta Umi Oktyari Retnaningsih Akademisi HI Spesialisasi Gender Universitas Riau. Diskusi ini juga dihadiri oleh Efriza, selaku Direktur Eksekutif PSKP sebagai pemantik diskusi.

Memulai diskusi, Direktur Eksekutif PSKP, Efriza menyampaikan permasalahan peningkatan jumlah kekerasan kepada perempuan dan anak merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus, “Gugus Tugas Penanggulanan Covid-19 telah menyampaikan peningkatan jumlah kasus, ini adalah masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian”. Menurutnya, Kebijakan PSBB yang memaksa kegiatan dilaksanakan di dalam rumah, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stress meningkat dan terjadi kekerasan, mengakibatkan perempuan dan anak-anak menjadi korban, “Yang ironis, kekerasan yang terjadi, pelaku utamanya dalah lingkaran orang-orang terdekat dari korban”. Tak hanya itu, dampak PSBB yang juga menghambat perputaran ekonomi menjadikan masalah ini semakin runyam, “Masalah timbul tidak hanya karena faktor budaya patriarki yang kental, tapi makin diperparah dengan menurunnya kondisi ekonomi masyarakat”, ucap Efriza.

Soraya Ramli, narasumber dari Komnas Perempuan, menyampaikan hasil survei lembaganya, dimana ditemukan bahwa pandemi ini berkontribusi besar pada bertambahnya tingkat stress perempuan, “Bayangkan saja, pekerjaan rumah sebagian masih dibebankan pada perempuan, dan jumlahnya bertambah 4 kali lipat”. Hal ini kemudian di dukung oleh pendapat dari Umi Oktyari Retnaningsih Akademisi HI Spesialisasi Gender Universitas Riau, yang menyebutkan pembagian kerja dalam ranah rumah tangga sangat memberatkan perempuan, dalam kondisi pandemik seperti ini akan memberikan tekanan psikis tersendiri. Tak hanya tekanan psikis, tingkat kekerasan secara fisik dan seksual juga banyak dialami perempuan dalam amsa pandemi ini. Umi Oktyari menyampaikan hal ini merupakan fenomena gunung es, “Sebelum pandemi itu sudah terjadi, adanya pandemi dan berbagai tekanan kondisi menambah kekerasan itu meningkat.”  Dari hasil survei oleh Komnas Perempuan, 85% responden mengalami kekerasan, yang mana didominasi oleh bentuk kekerasan fisik dan seksual, lebih jauh lagi Soraya Ramli menyampaikan “Kekerasan ini juga ditemui dalam ranah dunia maya, dimana tercatat 11% terjadi di media sosial atau platform online lainnya. Biasanya dalam bentuk ancaman dan pelecehan seksual, seperti revenge porn”

Ironisnya, data hasil survei Komnas Perempuan tersebut juga menunjukan, hanya 10% korban kekerasan yang berani melapor. Menurut Kepala DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah, Retno Sudewi , ada beberapa hal yang menyebabkan korban enggan melapor “Ada banyak faktor ya, seperti merasa masalah ini adalah masalah privasi, korban yang kurang paham hukum, berupaya menjaga keutuhan rumah tangga, hingga faktor ekonomi ketergantungan kepada pelaku”. Melengkapi pendapat tersebut, Evelyn Suleeman, Akademisi Sosiologi Keluarga Universitas Indonesia, mencoba menambahkan dimana penyebab tidak berani melapor karena takut tidak dipercaya, “Korban yang melapor tidak merasa aman kepada siapa dia akan melapor, takut justru dikucilkan dan dan tidak dipercaya, selain itu juga alasannya menjaga nama baik keluarga”.

Penurunan Kekerasan Perempuan dan Anak, telah menjadi salah satu fokus kebijakan prioritas pemerintah. Di tingkat daerah, Provinsi Jawa Tengah misalnya, jajarannya hendak segera melakukan penyesuaian kembali aturan-aturan terkait penghapusan kekerasan terhadap perempuan, “Tentunya ada beberapa aturan yang akan kita amandemen dan perbaiki, diupayakan dapat lebih mengakomodiasi situasi saat ini. Kami juga mempersiapkan SOP pengaduan, penanganan dan pendampingan”, ucap Retno Sudewi. Tak hanya itu, Retno Sudewi juga menyampaikan, Provinsi Jawa Tengah juga melakukan pemberdayaan perempuan kelompok rentan, “Ya tujuannya supaya mereka punya kemandirian ekonomi, sehingga tidak ketergantungan dan berani melapor bila dirinya atau orang sekitarnya mengalami kekerasan”. Evelyn Suleeman menambahkan, perlunya pelibatan berbagai stakeholders termasuk di dalamnya tokoh agama dan masyarakat, “Tokoh masyarakat dan tokoh agama juga harus dilibatkan untuk mendorong kesadaran masyarakat mengenai isu ini. Perlu juga, hal ini disampaikan dalam kursus persiapan perkawinan sebagai tindakan preventif”.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4