Belajar “Bhinneka Tunggal Ika” dari Papua

Published by admin on

Oleh : Jerry Indrawan, Direktur PSKP dan Dosen Ilmu Politik  UPN Veteran Jakarta

Semboyan negara ini adalah “Bhinneka Tunggal Ika” yang berarti berbeda-beda tetapi tetap satu. Berbeda tetapi tetap satu artinya “bersatu”. Bangsa ini akan selalu kuat ketika bersatu. Dari Aceh sampai Papua, jika bangsa ini bersatu, tidak ada yang bisa mengalahkan kita. Bahkan, persatuan dan kesatuan bangsa adalah sebuah hal yang kita harus tetap pegang teguh mau berapa lama pun bangsa ini berdiri tegak.

Tegaknya bangsa ini berarti masih ditopang oleh daerah-daerah yang ada di dalamnya. Tanpa satu daerah saja, maka Indonesia bukanlah “Negara Kesatuan Republik Indonesia” (NKRI). NKRI akan kehilangan marwahnya jika ada salah satu dari 34 Propinsi melepaskan diri. Makna kebangsaan serentak akan luntur dari setiap sanubari anak bangsa jika ada satu saja daerah yang tidak lagi bersama kita.

Bicara persatuan dan kesatuan bangsa, ada satu daerah yang penulis sangat cintai karena merasa sangat bahagia ketika berkunjung kesana. Daerah yang indah karena keragaman budaya dan adatnya, keindahan laut dan pegunungannya yang tak tertandingi, dan yang paling penting, keramahan orang-orangnya. Sebuah daerah yang berada di ujung timur negara ini. Ya, daerah itu adalah Papua.

Daerah yang sejak Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969 mayoritas masyarakatnya merasa menjadi bagian dari NKRI sehingga memilih menjadi bagian dari negara kita yang tercinta ini. Sebuah pilihan yang sangat tepat karena selama 51 tahun terakhir Papua berubah dari daerah yang tertinggal ketika masih dijajah Portugis, menjadi salah satu Propinsi paling indah di Indonesia, serta daerah tujuan wisata paling diminati di Oseania, bahkan Asia-Pasifik.

Bangsa-bangsa tetangga pun banyak yang mengakui bahwa perkembangan pesat yang dialami Papua adalah berkat pilihan tepat mereka untuk menjadi bagian dari Indonesia. Sekalipun ada beberapa negara di Oseania yang mendukung gerakan separatisme di Papua agar mereka merdeka, namun negara-negara besar, seperti Selandia Baru, Papua Nugini, dan tentunya Australia, mendukung secara penuh kedaulatan Indonesia di Papua.

Bicara Papua bagi penulis seperti bicara pada seorang saudara, bukan saja sahabat. Sekalipun ciri-ciri fisik penulis tidak mirip sama sekali dengan orang Papua, tapi hati kami satu. Penulis memiliki banyak sekali sahabat orang Papua yang sudah penulis anggap saudara sendiri. Mengapa demikan? Ternyata dari beberapa kali kunjungan ke Papua, banyak sekali dari mereka yang sangat cinta Indonesia. Tidak ada satu pun yang tidak bisa bahasa Indonesia, bahkan mereka sangat hapal Pancasila dan Lagu Kebangsaan Indonesia Raya.

Namun, apakah hal tersebut dapat menjadi patokan bahwa mereka setiap kepada NKRI? Mengapa banyak informasi yang berseliweran, khususnya di internet, bahwa mayoritas orang Papua ingin merdeka? Penulis ingin berkata sebaliknya, bahwa mayoritas orang Papua ingin tetap menjadi bagian dari negara kesatuan. Suara-suara di media yang menginginkan Papua merdeka hanyalah sedikit, namun mereka menggunakan channel media agar seolah-olah pendapat mereka mewakili keinginan mayoritas masyarakat Papua.

Kenyataannya tidak seperti itu. Masyarakat Papua banyak diam karena merasa tidak ada yang salah dengan NKRI. Mereka tetap melanjutkan hidupnya seperti biasa dibawah naungan bendera Sang Saka Merah Putih. Mereka bahagia dengan apa yang bangsa ini tawarkan kepada mereka. Jika sejahtera dan kebebasan ekspresi dihargai, untuk apa lagi bersuara. Itulah mengapa isu separatisme terlihat gencar disebarkan melalui media massa, termasuk sosial media, karena mereka yang mempunyai kepentingan agar Papua merdeka jumlahnya sangat minor.

Mengapa penulis menganggap sahabat-sahabat dari Bumi Cenderawasih sebagai saudara, karena orang Papua tidak pernah melihat suku, agama, latar belakang, apalagi ras. Mereka melihat orang lain sebagai sesama manusia, bahkan sering dipanggil “kakak”, yang kita bisa tafsirkan sebagai panggilan kepada saudara sendiri. Itulah hebatnya Papua. Bhinneka Tunggal Ika bukan hanya semboyan bagi mereka, tapi amalan sehari-hari. Itulah sebab penulis sangat nyaman dengan mereka karena diperlakukan layaknya saudara, sekalipun kulit penulis putih, mereka hitam. Namun, jika dicampur tentunya bisa menjadi kopi susu yang sangat nikmat untuk dinikmati bersama dengan saudara.

Terakhir, jika ditanya kepada seluruh masyarakat di Indonesia, penulis yakin akan banyak yang menangis jika Papua merdeka. Bangsa ini akan kehilangan orang-orang yang paham benar apa itu berbeda-beda tapi tetap satu. Sekali lagi, tidak akan ada NKRI tanpa Papua. Sampai kapan pun Papua akan selalu menjadi bagian tak terpisahkan dari Merah Putih. Tanpa Papua, mungkin Bhinneka Tunggal Ika hanya akan menjadi semboyan yang tidak implementatif. Untuk itu kita perlu belajar dari orang Papua untuk menjadi orang Indonesia.

 

Artikel ini telah dimuat di :

https://westpapuapress.com/2020/08/26/belajar-bhinneka-tunggal-ika-dari-papua/


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4