Fenomena Calon Tunggal pada Pilkada

Published by admin on

Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengeluarkan warning, dimana terdapat 31 daerah yang berpotensi hanya memiliki calon tunggal pada Pilkada 2020 ini. Calon tunggal sejatinya menjadi fenomena tersendiri ditengah demokrasi Indonesia, dimana hadir kontestasi tanpa kompetisi dalam pelaksanaan electoral activity.  Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan, tertarik untuk mengulas dan mendiskusikan fenomena ini lebih lanjut dengan mengadakan diskusi dalam Webinar Series ke #11 yang mengambil tema “Fenomena Calon Tunggal pada Pilkada”. Webinar yang diselenggarakan hari Jumat (28/8) dan dihadiri sekitar 65 peserta ini, dimoderatori oleh Abdi Rafi Akmal, Asisten Peneliti Departemen Politik dan Pemerintahan PSKP. Webinar ini menghadirkan sejumlah narasumber yang tentunya bekompeten dalam bidangnya, antara lain Fadli Ramadhanil Program Manager Perludem dan Akademisi Komunikasi Politik dan Peneliti Indopol Survey, Verdy Firmantoro. Selain dua narasumber tersebut, webinar kali ini juga menghadirkan perwakilan lembaga negara sebagai pemateri, yaitu Mahyudin, Komisioner Bawaslu DKI Jakarta serta Henry Casandra Gultom, Ketua KPU Kota Semarang. Manager Program Ekonomi dan Pembangunan PSKP, Achmad Ismail juga hadir sebagai pemantik diskusi.

Memulai diskusi, Achmad Ismail, Manager Program Ekonomi dan Pembangunan PSKP menyampaikan bahwa fenomena calon tunggal terjadi karena adanya kaderisasi dalam tubuh partai politik yang berjalan kurang baik. Fenomena ini juga dinilai dapat memiliki implikasi panjang pada kehidupan demokrasi kita. DIsampaikan, bahwa fenomena ini dapat berdampak pada gairah partisipasi masyarakat, “Ini bisa jadi berimplkasi panjang ya, karena dampak langsungnya pada keinginan masyarakat berpartisipasi dalam pemilihan. Jika hanya ada satu calon, keinginan untuk terlibat utamanya sebagai voters bisa jadi menurun karena tidak terjadi persaingan antar calon disana.” Lebih jauh lagi, Achmad Ismail menyampaikan koalisi gemuk yang terjadi juga berdampak pada penyelenggaraan pemerintahan . “Bila seluruh partai bergabung dalam satu koalisi, dikhawatirkan mekanisme cek and balances tidak terjadi dengan baik, yang outputnya kembali lagi masyarakat yang merasakan”, ujarnya.

Fadli Ramadhanil, Program Manager Perludem, menyampaikan fakta yang lebih komples munculnya fenomena calon tunggal ini. Senada dengan yang disampaikan Achmad Ismail, Fadli menyoroti mengenai kaderisasi partai yang tidak berjalan baik, “Iya tentu ada andil kaderisasi yang tidak berjalan lancar dalam partai sehingga tidak keluarnya figur dominan. Selain itu memang harus diakui, ambang batas pencalonan juga terlalu tinggi”. Pendapat ini semakin dikuatkan dengan pendapat dari Verdy, Peneliti Indopol yang menyampaikan terjadi kegagalan rekruitmen dalam tubuh partai politik,”Partai politik yang harusnya menjadi ladang rekruitmen, justru sekarang tidak memunculkan hal itu”. Verdy juga menambahkan, terkait figur di daerah fakta lapangannya banyak yang memiliki potensi, “Bukan tidak ada figur, tapi kembali lagi figur tersebut bisa masuk sistem rekruitmen atau tidak. Pertanyaannya adalah figur tersebut sesuai kehendak partai politik atau tidak, figur tersebut sesaui kemauan pemodal atau tidak?”, ujar Verdy dalam kesempatannya memaparkan materi.

 

Sementara itu, upaya untuk mencegah fenomena ini muncul telah dilakukan oleh lembaga penyelenggara, dalam hal ini KPU Kota Semarang. Henry Casandra Gultom, selaku Ketua KPU Semarang, menyampaikan sosialisasi calon perseorangan sebelumnya telah dilakukan jajarannya secara masiv, “Kami melakukan sosialisasi untuk pendaftaran calon perseorangan, tujuannya mendorong masyarakat Kota Semarang untuk tahu dan berani berkontestasi”. Selain KPU Kota Semarang, Bawaslu DKI Jakarta, melalui salah satu komisionernya, Mahyudin menyampaikan pendidikan politik terus dilakukan bawaslu kepada masyarakat, dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. “Bawaslu selalu melakukan pendidikan politik, utamanya tentang partisipasi masyarakat dalam hal pengawasan. Juga terkait fenomena calon tunggal yang mungkin terjadi bukan berarti tidak akan terjadi pelanggaran, justru kami bersama masyarakat semakin menguatkan pengawasan”, ujar Mahyudin.

 

Fadli, menyampaikan ada beberapa hal yang perlu dilakukan untuk mencegah fenomena calon tunggal terjadi, “Tentu fenomena calon tunggal menyebabkan bias dari esensi pemilu dan demokrasi itu sendiri. Kita perlu menurunkan ambang batas minimal pencalonan agar banyak kandidat-kandidat muncul, serta disisi lain harus memberikan batas maksimal jumlah koalisi partai politik pengusung”. Senada dengan itu, Verdy, Peneliti Indopol menekankan pentingnya menurunkan ambang batas pencalonan, sehingga dapat muncul kandidat alternatif. “Selain ambang batas pencalonan, regulasi harus diperkuat dan juga publik harus diperkuat dengan literasi-literasi politik. Harapannya substansi demokrasi kembali dapat dihadirkan tidak hanya dikuasai oleh elite politik”, ujarnya secara tegas sebagai closing statement webinar kali ini.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4