Pendekatan Kesejahteraan untuk Membangun Papua

Published by admin on

Oleh : Ruth Elfrita, Peneliti PSKP dan Mahasiswa Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta

Sejak awal didirikannya negara Indonesia nama Papua sudah ada. Pada masa pemerintahan Presiden Soekarno tepatnya pada masa awal kemerdekaan Indonesia, Belanda yang masih berusaha untuk merebut kembali daerah jajahannya mencerai-beraikan Nusantara, yang salah satunya adalah Papua. Padahal, sejak berniat merdeka dari Belanda, para pendiri negara kita, khususnya Bung Karno bersumpah untuk menjadikan semua bekas koloni Belanda menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), termasuk Papua.

 

Papua Bagian dari NKRI

Setelah lama berkonfrontasi dengan Belanda terkait status Papua, sebuah referendum pun disetujui oleh PBB untuk diadakan di Bumi Cenderawasih tersebut. Refrendum tersebut dinamakan Pepera (Penentuan Pendapat Rakyat), di mana pada tahun 1969 masyarakat asli Papua sadar dan memilih untuk bergabung dengan NKRI dan mengganti nama Papua menjadi Irian yang artinya Ikut Republik Indonesia Anti Netherlands.

Hal ini jelas terbukti bahwa sejak awal kemerdekaan Indonesia Irian sudah termasuk dalam bagian wilayah NKRI yang keamanan dan kesejahteraannya dijaga oleh pemerintah Indonesia. Beberapa saat dari pergantian nama Irian tersebut masih ada beberapa oknum dari masyarakat Papua yang menyebut diri mereka sebagai Papua bukan Irian. Tetapi saat pemerintahan Presiden Soeharto nama Papua resmi diubah menjadi Irian Jaya dan diresmikan menjadi salah satu provinsi yang ada di Indonesia. Tepatnya tanggal 1 Maret 1973 sesuai dengan peraturan Nomor 5 tahun 1973 nama Irian Barat resmi diganti oleh Presiden Soeharto menjadi nama Irian Jaya.

Pasca bergabung ke Indonesia, muncul gerakan untuk memerdekakan Papua. Gerakan ini umumnya dikenal dengan nama Organisasi Papua Merdeka (OPM). Gerakan ini jelas dilarang di Indonesia karena upaya untuk memerdekakan sebuah daerah yang menjadi bagian dari NKRI berakibat tuduhan pengkhianatan terhadap negara. Sejak awal OPM terbentuk telah menempuh jalur dialog diplomatik, melakukan upacara pengibaran bendera Bintang Kejora, dan melakukan aksi kekerasan sebagai bagian dari usaha memisahkan diri dari NKRI. Pendukung mereka secara rutin menampilkan bendera Bintang Kejora dan simbol lain dari kesatuan Papua, seperti lagu kebangsaan “Hai Tanahku Papua” dan lambang negara, yang telah diadopsi pada periode 1961 sampai pemerintahan Indonesia dimulai pada Mei 1963 di bawah Perjanjian New York.

Pemerintah Indonesia jelas sangat menentang dengan adanya gerakan separatisme yang dilakukan oleh organisasi ini dan perlu meredam upaya separatisme yang digaungkannya. Untungnya pemerintah pusat dengan cepat tanggap langsung bekerja sama dengan pemerintah daerah Papua untuk meredam gerakan makar ini dan menangkap langsung oknum yang diduga menjadi provokator, bahkan pelaku kekerasan yang mengatasnamakan Papua merdeka.

 

Pendekatan Kesejahteraan

Untuk menghadapi gerakan-gerakan makar seperti yang dilakukan OPM, pemerintah Indonesia mengadakan pendekatan yang bersifat kesejahteraan untuk menyelesaikan permasalahan ini. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kali Presiden Joko Widodo mengunjungi Tanah Papua dengan didampingi beberapa pejabat negara lain dan disambut baik oleh kepala suku disana. Hal ini jelas terbukti bahwa orang Papua sendiri sebenarnya tidak mau merdeka dan wilayahnya damai. Hanya segelintir saja yang menyuarakan gerakan separatisme untuk memisahkan diri dari Indonesia.

Tidak hanya Presiden, Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM Mahfud MD juga kerap berkunjung ke Tanah Papua dan berbincang dengan tokoh-tokoh masyarakat Papua. Mereka tetap menerima baik kunjungan dari Mahfud tersebut. Hal inilah yang menurut saya permasalahan di Tanah Papua sebenarnya dapat diselesaikan, bahkan dapat menghentikan gerakan OPM di Papua. Caranya adalah dengan mengembalikan semangat kesatuan dan persatuan pada diri masyarakat Papua.

Upaya-upaya pejabat pemerintah pusat untuk menjalin komunikasi langsung dengan masyarakat Papua serta berusaha menyelesaikan gerakan separatis Papua dinilai sangat baik karena OPM sangat merugikan NKRI.  Selain itu, pemerintah pemerintah daerah dan pusat bekerja sama melakukan dialog dengan warga Papua setempat. Kepala daerah Papua juga turut bekerja sama dengan pemerintah pusat untuk menekan pergerakan OPM ini. Beberapa tokoh dari OPM juga kerapa diundang pemerintah daerah Papua untuk mengadakan diskusi dan sharing terkait permasalahan di Papua.

Hal ini membuat pemerintah pusat terbantu dengan adanya kerelaan hati pemerintah daerah Papua untuk menangani permasalahannya sendiri. Contohnya, pada 15 Agustus 2017, Presiden Joko Widodo dan para tokoh agama, adat, dan pegiat HAM Papua bertemu di Istana Negara Jakarta. Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan HAM, Kepala Kantor Staf Presiden, dan Koordinator Jaringan Damai Papua kemudian ditetapkan sebagai “Person In Charge (PIC”) untuk mempersiapkan dialog sektoral terkait penyelesaian berbagai hal di Papua.

 

Bangun Infrastruktur

Selanjutnya, salah satu cara pendekatan kesejahteraan, yaitu dengan membangun infrastruktur di Papua. Hal ini untuk menepis tuduhan OPM, karena mereka dikenal sebagai gerakan separatisme yang dilatarbelakangi oleh adanya kecemburuan sosial budaya bahkan ekonomi karena pemerintah pusat dinilai kurang berhasil melakukan pemerataan. Untuk itu, kebijakan presiden sungguh tepat untuk mengambil hati masyarakat Papua dengan membangun infrastruktur di sana.

Pembangunan infrastruktur di Papua amat lengkap. Ada sepuluh bandara di Papua yang akan dibangun oleh pemerintah, yaitu Bandara Ewer, Bandara Kepi, Bandara Ilaga, Bandara Oksibil, Bandara Nabire Baru dan Bandara Mopah. Sementara 4 Bandara di Provinsi Papua Barat yaitu Bandara Rendani Manokwari, Bandara Waisai Raja Ampat, Bandara Wasior Baru, dan Bandara Baru Siboru Fak-fak. Tidak hanya bandara, pemerintah juga membangun 5 pelabuhan baru yang rencananya tahun 2020 ini akan selesai, yaitu Pelabuhan Depapre, Pelabuhan Nabire, Pelabuhan Pomako, Pelabuhan Moor, dan Pelabuhan Serui untuk Provinsi Papua serta Pelabuhan Kaimana di Provinsi Papua Barat.

Selain itu, pemerintah juga turut membangun dan memperlancar rencana Pekan Olahraga Nasional di Papua, walaupun rencananya tahun ini, namun karena pandemi diundur menjadi 2021. Pemerintah pusat membantu dengan membangun Terminal Bus Entrop di kota Jayapura, Papua, dermaga bus air di Danau Sentani, Fasilitas Pos Lintas Batas Negara (PLBN) di Skouw Kabupaten Jayapura yaitu penyediaan bus dan bus air.

Tidak hanya itu, sejak tahun 2018 Jalan Trans di Provinsi Papua Barat sepanjang 1.071 km telah tersambung dan terus ditingkatkan kondisinya. Hingga kini, jalan Trans Papua yang sudah beraspal sepanjang 743 km dan sisanya masih dikerjakan. Penyelesaian Jalan Trans Papua Barat sebagai bagian dari Jalan Trans Papua adalah perwujudan dari visi Presiden Joko Widodo dalam membangun Indonesia dari pinggiran dan pemerataan hasil-hasil pembangunan. Jalan Trans Papua Barat terbagi menjadi dua segmen/ruas yaitu segmen I Sorong-Maybrat-Manokwari (595 km) yang menghubungkan dua pusat ekonomi di Papua Barat yakni Kota Sorong dan Manokwari yang kini dapat ditempuh hanya dalam waktu 14 jam.

Dengan adanya kerja sama dan pendekatan kesejahteraan yang dilakukan oleh pemerintah pusat maupun daerah ini sudah sepantasnya masyarakat Papua, khususnya anggota dan pendukung OPM, menyadari bahwa mereka masih dihargai keberadaannya dan masih berusaha dirangkul oleh pemerintah. Sangat disayangkan jika semangat mereka digunakan justru untuk memisahkan diri dari NKRI. Bukankah lebih baik jika semangat itu digunakan untuk membangun Papua bersama-sama?

 

Artikel ini telah dimuat di :

Pendekatan Kesejahteraan untuk Membangun Papua

 


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4