Menekan Praktek Dinasti Politik: Masyarakat, Pemerintah, dan Parpol Turut Terlibat

Published by admin on

Oleh : Lula Lasminingrat, Asisten Peneliti PSKP dan mahasiswa Hubungan Internasional UPN Veteran Jakarta

Gibran Rakabuming Raka dipastikan maju sebagai calon Walikota Solo. Setidaknya terdapat 6 parpol yang merapat dalam basis Gibran-Teguh. Gibran berhasil mengamankan dukungan dari PDIP, PSI, Gerindra, PAN, Golkar, dan PKB. Sementara di sisi lainnya, pasangan Bagyo Wahyono dan FX Suparjo (BAJO) percaya diri untuk maju menantang Gibran dari sisi independen.

Di bagian provinsi lainnya, Menantu Jokowi, Bobby Nasution pun juga ikut meramaikan konstetasi politik dengan maju dalam Pilwalkot Medan. PDIP pun menjadi partai pendukung utama pasangan Bobby-Aulia Rahman. Bobby akan menantang Plt Walikota Medan, Akhyar Nasution yang diusung Partai Demokrat dan dan PKS dalam Pilkada Medan 2020 nanti.

Melalui hal itu, penulis mengungkapkan adanya pola menarik antara majunya kedua relasi dari RI 1 yang maju dalam Pilkada 2020 dengan asumsi dinasti politik. Meskipun kedua bakal calon walikota ini menampik adanya usaha pembangunan sebuah dinasti politik, penulis menilai, majunya Bobby-Gibran dalam Pilkada 2020 ini menunjukkan usaha mereka untuk membangun kekuatan politik di kota kelahirannya masing-masing.

Dinasti Politik

Secara harfiah, dinasti politik diartikan sebagai strategi politik untuk tetap menjaga kekuasaan dengan cara mewariskan kekuasaan yang telah digenggam kepada orang lain yang masih merupakan kalangan sanak keluarga (Djati: 2013). Keberadaan dinasti politik dapat dianalisis dalam beberapa sebab, seperti kondisi masyarakat yang pragmatis dan menyukai status quo, tingginya biaya demokrasi, sulitnya partai politik untuk mencari calon pemimpin daerah yang berkualitas atau regenerasi, hingga tidak terciptanya perimbangan kekuasaan antar elit lokal.

Ketika melihat kembali perkembangan politik di Indonesia, ‘dinasti politik’ merupakan istilah yang mulai berkembang di era Orde Baru ketika Keluarga Cendana berkuasa selama 32 tahun  pada kepemimpinan Presiden Soeharto. Dalam hal ini, poin penting dalam keberadaan suatu dinasti politik adalah penempatan relasi dalam proses ‘input’ ketika melakukan sebuah proses demokrasi (Djati: 2013). Proses input dimaknai tentang bagaimana sumber kekuasaan dinasti politik ini dibangun sehingga menjadi kekuatan besar dan berpengaruh dalam setiap pengambilan kebijakan politik.

Payung Hukum

Putusan Mahkamah Konstitusi tentang penghapusan pasal ‘dinasti politik’ dalam UU No. 8 Tahun 2015 tentang Pilkada memperlambat adanya langkah preventif dari sisi hukum untuk permasalahan dinasti politik. Sebelumnya dalam Pasal 7 Huruf r disebutkan bahwa: “…..WNI yang dapat menjadi Calon Gubernur dan Calon Wakil Gubernur, Calon Bupati dan Calon Wakil Bupati, serta Calon Walikota dan Calon Wakil Walikota adalah yang memenuhi persyaratan tidak memiliki konflik kepentingan dengan petahana.”

Konflik kepentingan dengan petahana diartikan bahwa yang bersangkutan tidak memiliki hubungan darah, ikatan perkawinan dan/atau garis keturunan tingkat lurus ke atas, ke bawah, ke samping, dengan petahana yaitu ayah, ibu, mertua, paman, bibi, kakak, adik, ipar, anak, menantu, kecuali telah melewati jeda 1 kali masa jabatan. Pasal ini telah dihapus oleh MK dengan mempertimbangkan ketidaksesuaiannya dengan konstitusi dan UUD 1945 tentang hak warga negara untuk memilih dan dipilih.

Payung hukum yang melemah dan kondisi masyarakat pragmatis akan mendorong terciptanya lebih banyak kekuatan-kekuatan dari dinasti politik lainnya. Jika menelaah kembali posisi Gibran dan Bobby, keduanya masih memiliki ikatan yang kuat dengan Presiden Jokowi. Gibran merupakan putra sulung Presiden Jokowi, sedangkan Bobby merupakan menantunya. Presiden Jokowi pun tengah menjabat di periode keduanya setelah berhasil memenangkan Pilpres 2019 lalu. Baik Gibran dan Bobby pun dikenal masyarakat sebagai seorang pengusaha sebelum akhirnya terjun dalam dunia politik. Posisi Bobby dan Gibran pun dinilai tidak mencederai hukum yang berlaku, mengingat keduanya memenuhi persyaratan untuk maju sebagai calon pemimpin di dapil masing-masing.

Penulis menilai payung hukum menjadi fondasi kuat untuk membatasi aktivitas dinasti politik karena menawarkan serangkaian hak dan  larangan yang harus dipatuhi oleh kandidat untuk maju dalam kontestasi politik. Melemahnya hukum yang mengatur berpotensi ‘menyuburkan’ praktek dinasti politik di Indonesia, karena kandidat akan berlindung dibawah hak untuk memilih dan dipilih.

Kondisi Masyarakat Pragmatis dan Status Quo

Di sisi lain, penulis berpendapat bahwa kondisi masyarakat saat ini pun turut mendukung keberlangsungan dari dinasti politik. Masyarakat merupakan aktor vital berjalannya proses demokrasi di suatu negara. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penentuan pemimpin yang akan duduk sebagai orang nomor satu di daerahnya. Masyarakat yang cenderung pragmatis dan menyukai adanya status quo turut menjadi faktor pendukung terciptanya dinasti politik. Status quo diartikan sebagai kondisi masyarakat yang menginginkan kepala daerah yang berkuasa secara terus-menerus dengan mendorong sanak keluarga atau kalangan terdekat ketika masa jabatannya habis.

Penulis menilai kondisi demokrasi saat ini pun juga tidak terlepas dari biaya politik yang mahal. Kandidat yang ingin mencalonkan diri pun harus mengeluarkan biaya cukup tinggi seperti untuk biaya kampanye dan publikasi. Tak jarang, situasi seperti ini memerangkap kandidat dalam ‘demokrasi setengah hati’. Demokrasi setengah hati dapat diartikan sebagai sulitnya melepaskan kekuasaan dan ketergantungan pada kekuatan partai politik sebagai ‘kendaraan politik’ atau ‘sponsor politik’ sehingga si pengirim komunikasi politik masih terikat kuat dengan kontrak atau ongkos yang telah diinvestasikan yakni secara materi maupun immaterial (Sulaiman, 2013).

Melihat hal ini, Gibran nyaris saja melawan kotak kosong dalam Pilwalkot 2020 nanti. Pasangan Bagyo Wahyono dan FX Suparjo baru saja dinyatakan memenuhi syarat sebagai penantang Gibran melalui jalur independen. Dinyatakan bahwa pasangan BAJO memperoleh melebihi ambang batas minimal yaitu 38.831 suara.

Partisipasi Parpol, Rakyat, dan Pemerintah

Fenomena dinasti politik akan subur apabila tidak ada langkah signifikan dari berbagai pihak terlibat. Dalam hal ini, harus ada sinergitas antar lembaga terkait untuk meminimalisir potensi dinasti politik di tengah tengah proses demokrasi.

Dari sisi partai politik, regenerasi dan kaderisasi merupakan langkah penting dalam menentukan dukungan terhadap calon pemimpin. Regenerasi pemimpin dibutuhkan, sebab pemimpin yang berkuasa terlalu lama akan menimbulkan konflik kepentingan dan mendorong terciptanya jalan lain menuju suksesi kekuasaan ke arah dinasti. Partai politik berperan mencari kader yang eligible dan berkualitas untuk menjadi pemimpin di daerah lainnya, utamanya untuk membangun daerah tersebut.

Masyarakat, merupakan pihak yang akan menerima output dari keseluruhan proses demokrasi ini. Masyarakat pun terlibat di dalamnya dalam memberikan kritisasi terhadap petahana, mengawal berjalannya proses demokrasi, serta berpartisipasi aktif baik dalam pemberian suara ataupun maju sebagai calon pemimpin. Maju sebagai calon independen pun merupakan sebuah tantangan di samping tingginya biaya demokrasi. Namun, sebagai masyarakat harus bijak dalam menggunakan suaranya utamanya dalam Pilkada 2020 nanti.

Dari sisi pemerintah, payung hukum merupakan aspek penting dalam menekan tumbuhnya dinasti politik di Indonesia. Hukum diperlukan agar suksesi kekuasaan tidak berputar di lingkaran dalam petahana. Di sisi lain, kesadaran masyarakat amat penting, mengenai perhatian masyarakat terhadap pemberian hak pilih itu bahwa akan berpengaruh kepada hasil akhir kandidat pemenang dan dapat atau tidak tumbuh suburnya dinasti politik itu sendiri.

 

Artikel ini telah dimuat di :

https://inakoran.com/menekan-praktek-dinasti-politik-masyarakat-pemerintah-dan-parpol-turut-terlibat/p26169


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4