Korban Kekerasan Perempuan Terus Bertambah, Anggaran Justru Berkurang 75%

Published by admin on

Pandemi Covid-19, tak dipungkiri lagi memiliki dampak terhadap berbagai hal dalam kehidupan, termasuk di dalamnya peningkatan kasus kekerasan terhadap anak dan perempuan, ekonomi kepada seluruh negara di dunia. Tidak hanya di Indonesia, sejumlah negara seperti Amerika Serikat dan Inggris, permintaan akan safe house untuk korban kekerasan meningkat secara drastis. Meningkatnya tingkat stress pada masyarakat dinilai berbanding lurus dengan peningkatan kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak. Berangkat dari fakta empirik ini, Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan (PSKP), menyelenggarakan Diskusi Webinar Series ke 10 dengan tema Penanggulangan Kekerasan terhadap Perempuan dan Anak selama Masa Pandemi. Diskusi ini menghadirkan sejumlah narasumber yang berkompeten di bidangnya, antara lain; Kepala DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah, Retno Sudewi dan Soraya Ramli, Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan. Sementara itu dari perspektif akademisi diwakili oleh Evelyn Suleeman, Akademisi Sosiologi Keluarga Universitas Indonesia serta Umi Oktyari Retnaningsih, Akademisi HI Spesialisasi Gender Universitas Riau. Diskusi ini juga dihadiri oleh Efriza, selaku Direktur Eksekutif PSKP sebagai pemantik diskusi.

Memulai diskusi, Direktur Eksekutif PSKP, Efriza menyampaikan permasalahan peningkatan jumlah kekerasan kepada perempuan dan anak merupakan masalah yang perlu mendapatkan perhatian khusus, “Gugus Tugas Penanggulanan Covid-19 telah menyampaikan peningkatan jumlah kasus, ini adalah masalah serius yang perlu mendapatkan perhatian”. Menurutnya, Kebijakan PSBB yang memaksa kegiatan dilaksanakan di dalam rumah, menjadi salah satu faktor yang menyebabkan stress meningkat dan terjadi kekerasan, mengakibatkan perempuan dan anak-anak menjadi korban, “Yang ironis, kekerasan yang terjadi, pelaku utamanya dalah lingkaran orang-orang terdekat dari korban”. Tak hanya itu, dampak PSBB yang juga menghambat perputaran ekonomi menjadikan masalah ini semakin runyam, “Masalah timbul tidak hanya karena faktor budaya patriarki yang kental, tapi makin diperparah dengan menurunnya kondisi ekonomi masyarakat”, ucap Efriza.

Sementara itu, berdasarkan survei yang dilakukan oleh Komnas Perempuan, 85% responden mengalami kekerasan, “Kekerasan yang dialami oleh perempuan sangat meningkat tajam selama pandemi. 85% responden kami mengalami kekerasan dalam bentuk kekerasan fisik, psikis, seksual, maupun penelantaran ekonomi”, ungkap Soraya Ramli, Koordinator Divisi Pengembangan Sistem Pemulihan Komnas Perempuan. Hal sama disampaikan oleh Retno Sudewi, Kepala DP3AP2KB Provinsi Jawa Tengah, “Dalam data kami, peningkatan kekerasan terhadap anak dan perempuan mengalami peningkatan pada masa awal pandemi, bulan April hinga Juni 2020”. Akademisi Sosiologi UI, Evelyn Suleeman, menilai kasus yang tercatat masihlah sebatas gambaran kecil, “Ini adalah suatu fenomena gunung es, banyak kasus yang belum terlaporkan dan terdata. Salah satunya karena korban sendiri takut melapor, takut bila ketika melapor tidak dipercaya bahkan hingga dianggap mencemarkan nama baik keluarga”. Data Komnas Perempuan sendiri menunjukan hanya 10% korban yang berani melapor. Sejalan dengan Evelyn, Umi Oktyari Retnaningsih Akademisi HI Spesialisasi Gender Universitas Riau menilai permasalahan ini adalah fenomena gunung es, “Pada masa normal saja sudah banyak, apalagi pandemi seperti ini, ditambah berbagai tekanan stress psikis dan ekonomi menyebabkan peningkatan kekerasan terhadap perempuan dan anak.”

Ironisnya, ditengah meningkatnya kasus, anggaran untuk penanganan dan rumah aman korban kekerasan justru banyak terpotong karena pengalihan alokasinya ke bidang kesehatan penanganan Covid-19. “Pengurangan lembaga pendampingan ada yang sampai 75%, dana itu karena dialihkan ke penangan Covid”, ujar Soraya Ramli. Hal serupa juga disuarakan oleh Evelyn, “Ini yang terjadi, anggaran kita berkurang karena dialihkan untuk penanganan pandemi, padahal kasus terus meningkat dan juga pengeluaran untuk pendampingan juga bertambah, mulai dari APD hingga infrastruktur pelayanan online”. Pelayanan Pelaporan dan Pendampingan online memang menjadi salah satu alternatif untuk menjangkau dan mengayomi korban kekerasan. Provinsi Jawa Tengah misalnya, disampaikan oleh Retno Sudewi mempersiapkan infrasturktur pendampingan online, “Penurunan angka kekerasan pada perempuan dan anak telah menjadi salah satu prioritas Presiden dan Gubernur, kami melaksanaknnya dengan menghadirkan layanan pengaduan dan pendampingan online. Kami juga mempersiapkan SOP baru menanggapi situasi saat ini.”, ungkapnya.

Berkurangnya anggaran sementara kasus terus meningkat, tentu menjadi suatu permasalahan tersendiri. Evelyn menilai, perlu ada upaya yang melibatkan berbagai stakeholders, “Tokoh agama dan masyarakat perlu dilibatkan, bagaimana kita bisa melakukan pendampingan kepada korban melalui komunitas terdekatnya, perlu support group di lingkungan-lingkungan kecil. Tokoh Agama diharapkan juga dapat menyampaikan permasalahan ini pada persiapan perkawinan, sebagai tindakan preventif.”. Lebih dari itu, Evelyn juga menyampaikan perlu diusulkan alokasi dana desa sebagian untuk melakukan pelayanan dan pendampingan terhadap korban kekerasan, “Perlu dicoba dan diusulkan alokasi itu. Kesadaran ini yang perlu dibangun hingga ke tingkat lingkungan terkecil.”


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4