COVID-19 & Tanggung Jawab Moral Negara Super Power

Published by admin on

Oleh : Rachma Putri, peneliti Bidang Keamanan dan Pertahanan Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan

Pandemi penyakit menular dapat muncul karena berkembangnya arus globalisasi. Menurut Eric Beerkens globalisasi adalah sebuah proses individu, kelompok, masyarakat, dan negara yang saling berinteraksi, terkait, tergantung, dan saling mempengaruhi satu sama lain, yang melintasi batas negara Ghemawat (2016: 13). Setiap negara tidak lagi menutup diri dengan pertahanan hard power nya yang sangat tinggi seperti pada era musim Perang Dingin. Setiap negara mulai membuka dirinya dengan saling berinteraksi atau berimigrasi dari suatu negara ke negara lain. Namun sering kali dengan adanya globalisasi ini menimbulkan suatu perubahan yang terjadi secara tiba-tiba dengan sangat cepat. Sehingga kerap kali aktor negara, non negara dan warga negara serta lainnya mengalami ketidaksiapan untuk merespon perubahan tersebut. Salah satu perubahan yang muncul karena adanya globalisasi tersebut adalah pandemi penyakit menular, seperti pandemi COVID-19.

Pandemi COVID-19 yang menjadi topik hangat diseluruh kalangan media nasional maupun internasional saat ini termasuk dalam golongan ancaman keamanan non-tradisional setiap negara. Dahulu ancaman keamanan negara hanya seputar aspek tradisional saja yang mengarah kepada high politics issue atau tangible seperti yang diketahui adanya perang nuklir pada masa Perang Dingin dan perang penggunaan senjata militer pada masa Perang Dunia I-II. Karena globalisasi yang telah saya sebutkan sebelumnya lah memunculkan istilah ancaman keamanan non-tradisional negara dalam studi ilmu hubungan internasional. Ancaman non-tradisional sifatnya memberikan pengaruh ke berbagai bidang kehidupan negara yang mengarah kepada low politics issue atau intagible seperti ekonomi, sosial, kesehatan, lingkungan serta lainnya yang terkena dampak akibat fenomena pandemi COVID-19.

Dalam mengatasi pandemi COVID-19 yang termasuk dalam keamanan non-tradisional ini tidak bisa hanya diselesaikan oleh WHO saja, tetapi menurut saya memerlukan aktor hegemon yang memadai. Namun seiring berjalannya waktu pandemi COVID-19 yang berkembang saat ini malah menyebabkan peran aktor hegemon di organisasi internasional multilateral seperti WHO mulai berkurang. Karena atas dasar ketidakpercayaan kinerja WHO dalam memberantas pandemi sebagai organisasi yang berkecimpung dalam permasalahan kesehatan global, aktor hegemon tersebut malah memilih keluar dan tidak peduli. Menurut Antonio Gramsci sendiri hegemoni merupakan suatu dominasi kekuasaan yang dipegang oleh aktor dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Sudah selayaknya dalam mengatasi pandemi COVID-19 semua pihak melakukan kolaborasi untuk mewujudkan penyelesaian permasalahan fenomena secara efektif.

Dimana salah satu aktor hegemon yang mendapat sorotan saat ini adalah negara super power Amerika Serikat (AS). Negara ini semenjak tahun 2017 dipimpin oleh Presiden yang sampai saat ini menjabat, Donald Trump malah mengurangi hegemoni multilateralnya di WHO. Trump hanya memfokuskan pencapaian national interest negaranya saja, mengabaikan kepentingan kolektif didukung dengan narasi andalannya “Make American Great Again!”. Dalam hal ini terdapat permasalahan Trump hanya memfokuskan peningkatan hegemoninya dalam organisasi internasional regional saja yang menurutnya lebih memberikan keuntungan bagi negaranya seperti NATO. Seakan-akan pihak negaranya melakukan tindakan diskriminatif dan hanya bermain aman untuk kepentingan nasionalnya sendiri. Untuk organisasi internasional multilateral Trump malah abai dan memilih keluar, seperti dari WHO misalnya. Memang betul berdasarkan Bab VIII Pasal 52-54, PBB menyatakan bahwa tidak ada penolakan terhadap eksistensi organisasi internasional regional Mulyana (2015). Namun, jika dipikirkan kembali AS masih memegang hegemoninya dalam PBB serta WHO yang cenderung mendukung nilai universal. Tidak seharusnya AS menjadi ignorance terhadap permasalahan universal COVID-19 saat ini. Padahal ditengah fenomena global COVID-19 ini secara multilateral tatanan global membutuhkan aktor hegemon super power seperti AS yang dapat menciptakan suatu ketertiban dengan kekuatan ekonomi, militer, serta politiknya sebagai provider membangun kembali global public goods dengan terlibat kembali dalam institusi multilateral, WHO.

Menurut saya keluarnya Trump dari WHO sebagai aktor hegemon sungguh disayangkan, mengingat negara AS merupakan kontributor terbesar setiap tahun menyumbang sekitar 6,2 – 7,8 triliun Rupiah Kurnia (2020). Padahal dengan adanya keterlibatan organisasi internasional multilateral diharapkan setiap negara dapat bekerja sama, saling bertukar informasi secara lebih luas mengenai pembasmian pandemi COVID-19. Namun apa daya aktor hegemon AS malah membuat permasalahan semakin rumit dan semakin memercikan api permusuhan antar negara, sehingga menggangu fokus setiap negara memerangi pandemi beberapa waktu lalu. Dimana AS juga sempat menuduh WHO bekerja secara lamban dalam mengatasi pandemi. Tidak seharusnya ditengah ujian berat pandemi COVID-19 ini, WHO malah dipusingkan oleh tingkah aktor hegemoninya AS yang memilih untuk keluar.

Seperti ditengah pandemi ini menurut saya AS malah semakin menunjukan sikap yang memicu konflik dan stabilitas keamanan negara lain semakin terancam misalnya, melaksanakan latihan militer dengan Filipina di perairan laut China Selatan. Hal ini membuat hubungan Filipina yang didukung AS kembali bersitegang dengan China karena memperebutkan Kepulauan Paracels di laut China Selatan CNBC Indonesia (2020). Menurut saya juga AS bersikap acuh terhadap pandemi dan organisasi multilateral WHO karena memang sifat dasar negaranya yang realis. Negara realis lebih memilih tetap mencari power dan berkuasa di dalamnya Rachman (2020: 121). Negara realis akan tetap berusaha mempertahankan negaranya ditengah keadaan bahaya sekalipun. Makanya sampai saat ini AS dicap sebagai negara dengan kasus tertinggi terbanyak di dunia, karena aktor negaranya yang sempat acuh tak acuh pada saat awal kemunculan isu pandemi COVID-19. Menurut saya AS seharusnya bisa menurunkan egonya sedikit saja untuk secara bersama mengatasi penyebaran COVID-19, agar hidup normal sesungguhnya dapat segera terlaksana tanpa rasa khawatir sediktipun. Sudah seharusnya seluruh negara di dunia saat ini berfokus pada pembasmian COVID-19 secara bersama agar dapat mempertahankan keamanan dan pertahanan dunia saat ini dan mencegah eskalasi pandemi semakin meluas.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4