Stabilitas ASEAN Terancam Apabila AS & Tiongkok Berperang di Laut China Selatan

Published by admin on

Oleh : Rachma Putri, peneliti Bidang Keamanan dan Pertahanan Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan

Perkembangan situasi dunia internasional menjadi tidak sah jika kalau Amerika Serikat (AS) dan Tiongkok tidak berkonflik. Kedua kubu negara ini dari jauh sebelum perang dagang dimulai pada tahun 2018 lalu, telah kerap kali berselisih selama era cold war. Terlepas dari perbedaan ideologi yang dianut, kedua negara ini sering bermasalah dikarenakan ingin mewujudkan kepentingan nasional yang bertolak belakang satu sama lain, dengan keyakinan masing-masing. Hampir seluruh permasalahan kedaulatan wilayah di jalur internasional melibatkan peran AS dan Tiongkok. Salah satunya wilayah Laut China Selatan.

Wilayah Laut China Selatan menjadi ajang pengklaiman berbagai negara dengan kepentingan nasionalnya masing-masing termasuk AS dan Tiongkok. Dikarenakan wilayah ini kaya akan sumber daya alam dan sumber daya mineral yang dapat mengembangkan pertumbuhan ekonomi suatu negara. Kerap kali AS dan Tiongkok dengan kubunya masing-masing beradu domba satu sama lain dengan melibatkan kekuatan militer yang tentu mengancam keselamatan pertahanan negara masing-masing. Kedua negara sangat berani melakukan konflik secara terbuka yang justru menambah eskalasi ketegangannya. Tentu saja jika konflik ini perlu diantisipasi oleh negara-negara di sekitar kawasan Laut China Selatan. Terutama oleh negara ASEAN, termasuk Indonesia di Kepulauan Natuna.

Di era tahun 2020 ini berbagai macam permasalahan keamanan memicu krisis dan kerugian negara. Misalnya pandemi yang tidak kunjung selesai, konflik terorisme yang tidak ada celah perdamaian di daerah kawasan Timur Tengah serta konflik pelanggaran hak asasi manusia dan lainnya. Tentu saja konflik di Laut China Selatan menjadi salah satu kekhawatiran dunia saat ini. Hal ini dikarenakan pada 23 Juli 2020 lalu AS mengirimkan dua kapal induknya USS Nimitz dan USS Ronald Reagan ke Laut China Selatan untuk menjalankan aksi latihan tempur. Tidak hanya mengirim dua kapal induk tersebut, AS juga mengerahkan dua kapal penjelajah dan dua kapal perusaknya, agar semakin menunjukan dahsyatnya angkatan bersenjata AS. Aksi latihan tempur tersebut tentu saja melibatkan aliansinya, Filipina, Australia dan Jepang.

Kemudian kebijakan AS dengan cepat direspon oleh Tiongkok. Tidak mau kalah, setelah diketahui sejak awal Tiongkok membangun pangkalan militer di pulau buatannya, negara tersebut pun mengirimkan dua pesawat pembomnya untuk menggertak pertahanan AS serta negara aliansinya di Laut China Selatan tersebut.

Eksistensi Klaim Laut China Selatan berdasarkan Kepentingan Nasional

            Dari sudut pandang penulis wilayah Laut China Selatan akan terus bergejolak dengan keyakinan wilayah masing-masing yang diperebutkan secara serakah antar negara. Pengklaiman yang berbeda atas wilayah Laut China Selatan oleh suatu negara ini dilihat berdasarkan konstruksi kepentingan nasionalnya dengan latar belakang sejarah, persepsi, serta pengetahuan yang tidak sama. Kepentingan nasional sangat mempengaruhi kebijakan luar negeri suatu negara dan dapat mengendalikan tindakan yang diambil ketika negara mengalami konflik. Tiongkok sangat teguh dikarenakan menurutnya, nelayan Tiongkok telah lama sejak 2000 tahun yang lalu melintasi perairan wilayah Laut China Selatan untuk mencari ikan dan didukung dengan adanya penemuan arkeologis Tiongkok dari Dinasti Han. Maka, perebutan wilayah Laut China Selatan ini akan terus belangsung selama tetap kukuh diyakini dengan keyakinan yang berbeda.

Dimana dalam hal ini Tiongkok akan tetap meyakini nine dash line secara sepihak demi kepentingan nasionalnya yang memicu kontribusi emosi AS ikut terlibat, dikarenakan menurut negara tersebut Tiongkok telah melanggar penetapan wilayah Laut China Selatan berdasarkan sudut pandang sah United Nations Convention on the Law of The Sea (UNCLOS) 1982 yang disetujui berbagai negara.

Pecahnya Aliansi Antar Negara, Indonesia Harus Waspada

            Pada 4 Agustus 2020 lalu keputusan mengejutkan datang dari Filipina yang memutuskan memberhentikan kegiatan latihan militer gabungannya bersama dengan AS serta sejumlah negara aliansinya di kawasan ASEAN. Hal ini sangat membuat AS kecewa, dikarenakan AS membutuhkan dukungan terhadap negaranya, yang tetap tidak akan berhenti melawan kekuatan militer Tiongkok yang dengan beraninya membuat klaim bertolak belakang dengan UNCLOS bertahun-tahun lamanya.

Maka, AS pun memutar otak agar tetap bisa mendominasi menyimbangi Tiongkok dengan merayu negara-negara ASEAN yang memang berada di dekat wilayah Laut China Selatan. Menurut sudut pandang penulis Indonesia harus berhati-hati dengan rayuan tersebut karena dapat mengancam eksistensi wilayah strategis Kepulauan Natuna. Indonesia harus waspada menjaga stabilitas keamanan dan pertahanan negaranya ditengah masa suram tahun ini. Indonesia harusnya bisa belajar dari kasus perebutan wilayah Sipadan dan Ligitan dengan Malaysia beberapa waktu silam.

Menurut penulis, Indonesia seharusnya bisa bersikap bijak dalam menghadapi kekuatan Tiongkok yang beberapa waktu lalu sempat disindir negara tersebut melalui media Global Times dengan menyatakan “Tiongkok tidak pernah berniat ingin mengklaim kedaulatan atas Kepulauan Natuna, jadi Indonesia tidak perlu repot-repot mengusik permasalahan nine dash line-nya dengan mengirim surat pengaduan pelanggaran UNCLOS 1982 kepada Sekretaris Jenderal PBB, Antonio Gutteres pada bulan Mei lalu. Tiongkok menilai bahwa kebijakan Indonesia tersebut dikarenakan Indonesia sedang mengalami tekanan menghadapi pandemi COVID-19 yang didukung dengan adanya pemotongan anggaran pertahanan negara, menyebabkan kemampuan militernya melemah di Laut China Selatan”.

Walaupun Indonesia tidak melanggar penetapan Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) nya di dekat wilayah Laut China Selatan menurut UNCLOS 1982, seharusnya tetap berhati-hati mengambil langkah keputusan untuk terlibat bekerjasama sebagai aliansi adu kekuatan milier. Hal ini dikarenakan Menteri Luar Negeri AS, Mike Pompeo sempat menghubungi Menteri Luar Negeri Indonesia, Retno Marsudi beberapa waktu lalu untuk membicarakan permasalahan Laut China Selatan pada 6 Agustsus 2020 setelah Filipina memutuskan keluar dua hari sebelumnya.

Laut China Selatan Berperang, Stabilitas Terancam

Menurut penulis, akan ada baiknya jika negara-negara ASEAN termasuk Indonesia tidak terpancing emosi, apabila AS dan Tiongkok memilih jalan berperang habis-habisan di wilayah Laut China Selatan. Hal ini dikarenakan tentu saja akan membahayakan negara-negara ASEAN ditengah kesulitan pandemi ini dari segi ekonomi, politik dan sosial apabila kedua negara tersebut berperang.

Namun, disatu sisi penulis juga berharap bahwasanya kedua negara sadar akan peranannya di masing-masing negara ASEAN yang dekat dengan wilayah Laut China Selatan tersebut. Dikarenakan kedua negara masih terlibat dalam kegiatan ekspor serta impor barang guna memenuhi kebutuhannya. Mengingat juga kegiatan investasi, bantuan penyaluran dana serta hutang masih melibatkan kedua negara tersebut dengan negara-negara ASEAN. Jika perang terjadi dan menimbulkan hancurnya stabilitas keamanan serta pertahanan negara ASEAN yang berada di dekat kawasan Laut China Selatan tersebut, maka seluruh kepentingan yang sudah terjalin sejak lama juga akan runtuh dan menimbulkan kerugian yang tak kalah jauh lebih besar.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4