Mempertanyakan Tata Kelola Penanganan COVID-19 di Indonesia, Kesehatan atau Ekonomi?

Published by admin on

Oleh: Alvin Adnan I., peneliti bidang Politik dan Pemerintahan Pusat Studi Kemanusiaan dan Pembangunan

Indonesia pada awalnya merasa terbebas dari COVID-19 dan memandang bahwa COVID-19 tidak dapat berkembang karena berbagai macam alasan yang tidak cukup buktinya. Namun hal ini jelas terbantahkan sejak diumumkan adanya kasus positif pertama kali oleh Presiden Jokowi pada tanggal 2 Maret 2020. Bukannya membuat langkah-langkah penanganan secara drastis dan sistematis, Pemerintah justru menggelontorkan insentif senilai 4.7 Triliun guna menggeliatkan wisata lokal yang lesu akibat virus COVID-19 sehingga menimbulkan banyak respons yang menilai Indonesia mengundang kecaman luas karena lamban, buram, dan menempatkan kepentingan ekonomi di atas kesehatan masyarakat. Tentu hal ini sangat bertolak belakang dengan negara lain yang berbondong-bondong menanggulangi virus tersebut.

Dari sini dapat dilihat keseriusan pemerintah Indonesia dalam mencapai tujuan negara yang termuat dalam UUD 1945 “Melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia”. Apakah pemerintah mengutamakan keselamatan rakyat ataukah mengutamakan para pengusaha konglomerat? ironis memang, namun begitulah realitanya, dilihat dari kebijakan yang diambil pertama kali tersebut. Covid-19 tidak bisa dipandang sebelah mata, terbukti beberapa negara di belahan dunia mulai chaos karena permasalahan tersebut. Penanganan pandemic COVID-19 sejatinya membutuhkan itikad politik yang kuat dari pemerintah, juga membutukan kebijakan yang memadai yang mampu menjamin tata kelola pemerintahan yang transparan serta dapat menjamin keselamatan masyarakat.

Dalam upaya untuk mencegah penyebaran COVID-19, pemerintah Indonesia sendiri menerapkan dan mengeluarkan kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang dikeluarkan melalui PERMEN N0. 9 tahun 2020 turunan dari peraturan pemerintah No 21 Tahun 2020 yang merupakan turunan pula UU No.6 Tahun 2018 tentang karantina wilayah. Pemerintah berdalih bahwasannya jika diterapkan karantina wilayah (lockdown) maka akan mengganggu perekonomian, karena pembatasan dengan skema PSBB tidak seketat karantina wilayah. Pemerintah juga tidak harus menanggung kebutuhan hidup warga selama PSBB diberlakukan. Lagi-lagi dari sini dapat dilihat pemerintah setengah hati untuk memilih keselamatan rakyat ataupun perekonomian negara.

Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang sudah diterapkan di 18 wilayah Indonesia belum sepenuhnya maksimal. Karena terjadi banyak pelanggaran di 18 wilayah itu, dalam derajat yang berbeda, terutama pada kegiatan agama dan kegiatan di tempat umum. Kegiatan terawih keagamaan terjadi di banyak masjid. Juga kegiatan di tempat umum berupa pasar tradisional atau pertokoaan, dan anak muda berkumpul di kafe arau resto. Selain itu, Pembatasan penumpang pada kendaraan roda empat dan roda dua.

Penegakkan hukum PSBB ini hampir mustahil dilakukan. Tidakkah kita ingat bahwa penerapan ganjil-genap pun sulit karena hanya mengandalkan pengamatan manual petugas. Belum lagi mengawasi penggunaan masker, dan memeriksa kesamaan alamat kartu identitas pengemudi sepeda motor dan penumpang yang dibonceng. Penerapan PSBB layaknya perlu dievaluasi efektifitasnya. Hal ini dapat dilihat dari dampak PSBB secara grafik belum menunjukkan penurunan angka kasus positif Covid-19 yang diharapkan. Banyak yang menilai kebijakan itu tidak akan efektif karena filosofinya, PSBB ini hanya membatasi aktivitas masyarakat. Tidak serta merta bisa melarang. Bahkan pemerintah dianggap ingin menghilangkan tanggung jawab memenuhi kebutuhan pokok masyarakat terdampak kebijakan PSBB ini.

Selama masa pandemi ini pemerintah memberikan stimulus 905 T untuk anggaran Bansos. Namun, Pemerintah harus melihat lagi apakah subsidi yang akan diberikan selama ini efektif dalam membantu masyarakat miskin atau tidak. Pemerintah pusat menggelontorkan bantuan warga terdampak COVID-19 dengan standar bantuan Rp 600 ribu per keluarga melalui program Bantuan Langsung Tunai Dana Desa dan Bantuan Sosial Tunai. Program satu bantuan dari pusat untuk satu penerima itu demi menjamin akuntabilitas. Program ini menuai permasalahan di Pemerintah daerah karena kesulitan mengontrol pencarian PKH. Mekanisme pencairannya langsung dari Kemensos ke penerima bantuan, tanpa melibatkan pemerintah daerah. Ada yang mengangap bantuan PKH sebagai “Program Siluman”, ada juga yang mengeluh sudah lima tahun tercatat PKH, enggak pernah mendapat bantuan.

Pentingnya koordinasi antara pemerintah pusat dan daerah selama masa pendemi dan kehati-hatian dalam membuat suatu kebijakan sangatlah diperlukan. Kebijakan dan aturan yang berubah-ubah akan membuat kondisi di lapangan ricuh. Kisruh bantuan di masa pandemi berpangkal pada masalah klasik, kebijakan yang tumpang tindih di tingkat pusat. Tidak sinkronnya aturan pusat, sering dikeluhkan kepala daerah. Di lapangan, kondisi demikian bisa membuat daerah gelagapan.

Terlebih, di masa pandemi yang butuh penanganan segera. Dalam kasus seperti itu, adakalanya kepala daerah akan bermain aman. Mereka memilih menahan dana dan stok logistik yang dimiliki daerah. Sebab, kepala daerah dihadapkan pada pilihan dilematis antara ancaman hukum dan kebutuhan masyarakat. Menyoroti metode pemerintah pusat dalam menyalurkan bantuan. Pendekatan yang digunakan masih menggunakan cara konvensional seperti di saat situasi normal. Padahal, situasi sedang tak normal.

Peristiwa Covid-19 merupakan peristiwa yang sangat luar biasa, sehingga dibutuhkan kerja keras guna mengatasi permasalahan ini. Presiden Jokowi mengintruksikan seluruh jajarannya untuk bekerja extra ordinary untuk menekan laju penyebaran COVID-19. Namun realitanya, jumlah kasus positif COVID-19 di Indonesia terus mengalami penaikkan hingga pada 23 Juli 2020 tercatat mencapai 93.657 dan akan terus bertambah setiap hari. Perlu diingat, setiap warga yang meninggal yang diumumkan oleh pemerintah bukanlah angka statistik saja. Mereka adalah saudara-saudara kita yang memiliki keluarga yang sangat mencintai mereka.

Oleh karena itu dalam situasi seperti ini, pentingnya mendengarkan nasehat kebijakan dari orang yang memiliki kredibilitas, integritas dan kompetensi dalam memberikan pandangan secara jernih dan tidak memiliki conflict of interest. Hal ini dikarenakan bangsa ini harus memiliki kesamaan pandangan bahwa keselamatan warga adalah hal yang utama dan pertama diatas segalanya terlebih diatas kepentingan politik.


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4