Indonesia Penjajah? Stigma Usang

Published by admin on

Oleh : Jerry Indrawan, Direktur PSKP dan Dosen Ilmu Politik UPN Veteran Jakarta

Akhir-akhir ini muncul argumen dari beberapa kalangan, baik nasional maupun internasional, yang mengatakan bahwa Indonesia menjajah Papua. Sejak Perjanjian New York 1962 sampai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) 1969 adalah bagian dari aneksasi Indonesia ke Papua. Pasca Pepera, Jakarta kemudian mulai menjajah Papua hingga detik ini. Namun, apakah hal tersebut mengandung kebenaran atau hanya hoaks yang disampaikan pihak-pihak yang tidak memahami sejarah. Mari kita sama-sama telisik kebenaran dari premis: “Indonesia menjajah Papua”.

 

Sisi Historis

Ada baiknya kita memulai diskursus ini dari sisi sejarah karena istilah “jajahan” sendiri adalah sebuah istilah kuno yang sekarang jarang digunakan lagi. Jadi, apabila ada yang mengatakan Indonesia menjajah Papua, mungkin masih berpikiran kuno dan bisa jadi tidak tahu sejarah. Contohnya adalah seperti ini. Mereka mengatakan bahwa ekspansi Wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui Invasi Militer Komando Trikora 19 Desember 1961, atas wilayah koloni Belanda di Pasifik Barat Daya Nederlands Nieuw Guinea dengan alasan politik utipossidetis iuriswilayahNederlans-Indie, tidak dapat dibenarkan. Alasannya, Reunifikasi sebuah wilayah negara dapat dibenarkan dengan tujuan, alasan eksplisit, atau yang mempertegas merebut kembali wilayah yang sebelumnya hilang (dicaplok), dengan kata lain mengambil kembali tanah leluhur, entah itu melalui jalan damai, ataupun melalui tindakan invasi militer, sedangkan Tanah Papua bukan tanah leluhur etnis Jawa, atau bangsa Melayu.

Faktanya tentu tidak demikian, Indonesia dalam Konferensi Meja Bundar (KMB) di Den Haag Belanda pada 1949 sudah menyinggung keberadaan Papua Barat. Presiden Soekarno saat deklarasi kemerdekaan tahun 1945 memiliki keinginan menyatukan semua bekas koloni jajahan Belanda ke dalam  NKRI. Dilihat dari aspek sejarah juga, tekad untuk menggabungkan Papua ke dalam NKRI, dikuatkan atas dasar hasil kesepakatan rapat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Di agenda tersebut telah disepakati semua wilayah bekas jajahan Belanda masuk dalam kedaulatan NKRI.

Bung Karno dalam buku “Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat Indonesia” memandang Papua sebagai bagian dari tubuh Indonesia. “Apakah seseorang akan membiarkan salah satu anggota tubuhnya diamputasi tanpa melakukan perlawanan? Apakah seseorang tidak akan berteriak kesakitan, apabila ujung jarinya dipotong?” tegas Bung Karno dalam buku itu. Begitulah Sukarno bagaimana menempatkan Papua sebagai bagian terpenting di Indonesia. Indonesia tidak akan utuh tanpa Papua di dalamnya. Untuk itu, ia tak tanggung-tanggung dalam memperjuangkan perebutan Papua dari tangan Hindia Belanda.

Kekesalan Sukarno terhadap Belanda tidak lepas dari masalah yang tak terselesaikan pada Konferensi Meja Bundar (KMB) 1949. Belanda urung menyerahkan separuh bagian barat dari Pulau Papua kepada Indonesia. Menurut Belanda, rakyat Papua tidak termasuk bagian dari Indonesia, baik secara etnis maupun budaya. Sukarno jelas mengetahui pasti alasan Belanda begitu keras mempertahankan wilayah Papua bagian Barat. “Lalu Belanda mengapa begitu menginginkannya? Agar memiliki pijakan kaki di Asia. Agar memiliki beberapa sisa-sisa kebesarannya pada waktu dulu. Itu hanya faktor psikologis semata. Kecuali, itu orang Belanda memang kepala batu,” ucap Sukarno dalam buku yang sama. Untuk itulah, di Yogyakarta, 19 Desember 1961, Soekarno memaklumatkan Tri Komando Rakyat (Trikora).

Di sisi lain, pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab mengatakan invasi militer Indonesia melalui Komando Trikora, 19 Desember 1961 yang melahirkan New York Agreement, 15 Agustus 1962, telah nyata dan jelas adalah pelanggaran atas kedaulatan Negara Kerajaan Belanda di West New Guinea, karena West New Guinea berdasarkan prinsiperga omnesadalah wilayah yang tidak berpemerintahan sendiri, dan secara sah menjadi koloni Belanda. Sehingga dengan demikian, dasar itu dapat dikatakan bahwa, “New York Agreement, 15 Agustus 1962 cacat hukum internasional demi keadilan bagi Orang asli Papua.

Padahal, pasca Trikora diadakan Perjanjian New York antara Indonesia dengan Belanda, serta Amerika Serikat sebagai mediator atas kesepakatan bersama. Hasil perjanjian tersebut mengatakan bahwa Irian Barat diserahkan kepada pemerintahan sementara PBB melalui UNTEA (United Nation Temporary Executive Authority) selambat-lambatnya 1 Oktober 1962. UNTEA sendiri menggunakan tenaga asal Indonesia, bersama dengan putra/putri Irian Barat, sesuai dengan Perjanjian New York. Tentunya jika cacat hukum, tidak mungkin tercipta kesepakatan bersama untuk mengadakan dialog yang hasilnya adalah Perjanjian New York itu sendiri.

Baru pada 1 Mei 1963 UNTEA menyerahkan kedaulatan ke tangan ke tangan pemerintah Indonesia sebagai hasil dari Perjanjian New York, yang telah disepakati oleh pemerintah Kerajaan Belanda. Itulah mengapa argumen yang mengatakan Perjanjian New York cacat hukum adalah orang yang tidak mengerti hukum internasional. Itulah alasan sejarah mengapa Papua adalah bagian dari Indonesia, bukan Indonesia menjajah Papua.

Penentuan Pendapat Rakyat 1969

Mereka yang mengatakan bahwa Pepera adalah akal-akalan Indonesia untuk menguasai Papua, sampai mengatur hasilnya agar masyarakat Papua memilih untuk bergabung ke Indonesia, juga tidak benar. Indonesia justru membantu memerdekakan Papua dari Belanda melalui Perjanjian New York tahun 1962. Integrasi Papua ke Indonesia juga disetujui dan disahkan PBB. Bahkan, mereka melakukan supervisi langsung ketika diadakan Pepera tahun 1969. PBB mengutus 50 orang untuk mengawasi pelaksanaan Pepera yang dilakukan di 8 kabupaten, serta dihadiri 1026 anggota Dewan Musyawarah Pepera (DMP), yang mewakili 809.327 penduduk Papua kala itu.

Hasil Pepera di 8 kabupaten tersebut secara mutlak memilih dan menetapkan bahwa Papua menjadi bagian dari NKRI. Hasil tersebut kemudian disepakati dan disetujui dengan pembubuhan tanda tangan bagi semua yang hadir dalam rapat. Secara de Facto masyarakat Papua memilih untuk berintegrasi dengan wilayah NKRI ini. Pepera sendiri disahkan melalui Resolusi PBB No. 2504 pada sidang umum 19 November 1969 yang disetujui oleh 82 negara, sedangkan 30 negara lainnya memilih abstain.

Pihak-pihak yang kontra dengan ini memberikan argumen bahwa Resolusi PBB Nomor 2504 merampas hak-hak sipol dan ekosob rakyat Papua Barat, yang adalah bagian dari suatu bangsa di dunia. Bahkan, mereka mengatakan bahwa resolusi PBB tersebut dapat diistilahkan bola api liar yang sedang dimainkan dalam arena kepentingan geopolitik di West Papua, yaitu kepentingan Imperialis AS tujuan utama ekonomi, dan kepentingan Indonesia tujuannya politik.

Kita tidak bicara politik dalam konteks ini, namun hukum, tepatnya hukum internasional. Resolusi PBB Nomor 2504 itu merupakan pernyataan tegas akan pengakuan PBB terhadap kedaulatan Indonesia terhadap Papua. Atas dasar itu, penting untuk kita pahami bahwa setiap upaya pemisahan diri dari NKRI merupakan tindakan penentangan terhadap hukum internasional yang berlaku. Resolusi PBB diakui secara internasional sebagai sebuah bentuk dari hukum internasional.

Masalahnya sekarang, bagi pihak-pihak yang mempertanyakan keabsahan Papua menjadi bagian dari Indonesia, bahkan ingin sampai Papua merdeka, artinya pihak-pihak ini tidak belajar sejarah dan hukum. Menentang kedaulatan Indonesia di Papua tidak hanya merupakan sebuah perbuatan melawan hukum nasional kita sendiri, namun juga penentangan terhadap hukum internasional dalam bentuk resolusi tadi. Kemudian, resolusi PBB pun merupakan bagian kecil dari Piagam PBB (UN Charter) yang sudah diakui oleh seluruh anggota PBB sebanyak 193 negara di dunia.

PBB telah memperhitungkan konsekuensi dalam berdemokrasi wajar akan adanya pro dan kontra akan hasil Pepera ini. Silang pendapat terhadap yang menerima keputusan juga yang menentang keputusan. Gugatan mengenai keabsahan Pepera oleh oknum yang tidak bertanggung jawab dinilai hanyalah upaya mencari kambinghitam dengan memanfaatkan celah sejarah yang digunakan untuk kepentingannya.

Pepera tahun 1969 telah dilaksanakan sesuai kondisi wilayah serta perkembangan masyarakat, di mana tidak memungkinkan untuk dilakukan secara “one man, one vote”. Jika hal ini dipandang sebagai suatu kekurangan ataupun kecacatan, nyatanya PBB telah menerima keabsahan Pepera melalui resolusi No 2504. Bahkan, masyarakat Internasional mengakui secara penuh dan tak ada satupun pihak yang menolak. Secara jelas disini fakta menunjukkan bahwa Indonesia bukan penjajah.

Bukan Penjajah

Setelah kita memahami sisi sejarah, baik sebelum Pepera maupun pasca Pepera, kita dapat menarik kesimpulan dari premis di atas. Secara historis fakta-fakta di atas tidak dapat dibantah lagi. Secara hukum internasional pun Indonesia mendapatkan pengakuan internasional adalah salah satu syarat sebuah negara, selain adanya wilayah, pemerintahan, dan masyarakat. Seluruh dunia mengakui Indonesia sebagai sebuah negara, dengan Papua sebagai salah satu provinsinya.

Selain itu, jika Indonesia adalah penjajah, kita tidak akan memberikan Otonomi khusus (Otsus) kepada Papua yang diimplementasikan dalam Undang-Undang No. 21 tahun 2001 tentang Otsus Papua. Sesuai UU tersebut pun, kepala daerah harus putra/putri asli Papua. Bantuan dana yang diberikan Indonesia kepada Papua pun lebih besar daripada APBD Papua yang disetorkan kepada pemerintah pusat. Sebanyak 94 Triliun dana Otsus sudah digelontorkan Jakarta kepada Papua sejak 2001. Terakhir, PBB mengakui bahwa Papua adalah bagian dari Indonesia sesuai Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) yang diformalkan dalam Resolusi PBB No. 2504.

Berangkat dari fakta-fakta tersebut, kesimpulannya hanya satu: “Indonesia bukan penjajah di Papua”. Tidak mungkin penjajah memberikan keuntungan dan kelonggaran yang Indonesia berikan selama ini kepada Papua. Sifat penjajah adalah kolonialis, artinya mereka akan mengeksploitasi wilayah jajahannya demi keuntungannya sendiri. Indonesia yang ada malah memberikan bantuan dana ke Papua. Selain itu, pimpinan pemerintahan di daerah jajahan juga pasti dipegang orang-orang asli penjajah itu sendiri. Di Papua, kepala daerah harus putra/putri Papua asli.

Terakhir, penjajah pun tidak akan mungkin mendapat dukungan dari PBB dan dunia internasional, apalagi di era modern seperti ini, di mana hak asasi manusia dan hak untuk menentukan nasib sendiri sudah diakui dan dipraktekkan di seluruh dunia. Jika Indonesia menjajah Papua, tidak mungkin mendapatkan legitimasi dari PBB. Jadi, sekali lagi jika ada yang menuduh bahwa Indonesia adalah penjajah di Papua, bisa jadi mereka hidup di masa lampau yang buta sejarah.

 

Artikel ini telah dimuat di :

Indonesia Penjajah? Stigma Usang


0 Comments

Leave a Reply

Your email address will not be published.

google-site-verification=8N5TxWSBBIhu3nYT0oYVHkVyJSPdKuOpQNM5nHBjYg4